Minggu, 08 Februari 2015

HAL DAN TINGKATANNYA DALAM TASAWUF



HAL DAN TINGKATANNYA
DALAM TASAWUF

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah           :  Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu   :  Imam Khanafi Al-Jauhari


Disusun oleh :
1.      Wilda karimah                         2021113046
2.      Naili Nikmah                           2021113153


Kelas / Prodi : C / Tarbiyah-PAI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang ahwal (jama’ dari hal) dan tingkat-tingkatannya.








BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yaitu dari segi bahsa berarti sifat dan keadaan sesuatu. Dalam Kitab Isthilahat Al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai pemberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata. Maka dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasaldari tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendakinya.[1]
Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib). Hal, datang dari wujud itu sendiri. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam hati manusia, tanpa ia mampu   menolaknya bila datang, atau meraihnya bila pergi, dengan ikhtiarnya sendiri.
2.      Tingkatan Dalam Hal
a.    Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1.    Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2.    Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3.    Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.

b.    Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
1. raja’ bersama Allah (fi Allah)
2. raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3. raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu: 
1.                   Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2.                   Takut bila harapannya hilang. 
3.                   Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.

c.    Syauq (rindu)
Secara literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang  syawq sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syawq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah Syawq (rindu).
Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.
1.      Mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
2.      Mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
3.      Mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.
Dengan demikian, seorang sufi apabila sedang dilanda syauq akan merasa tersiksa dan sedih batinnya karena ingin selalu bertemu dengan tuhan.[2]
d.   Qona’ah[3]
Menurut Muhammad bin Ali At-Tirmidzi “ kepuasan adalah ridho dalam hati terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah berupa rezeki”. Menurut Abu Abdullah bin Khafif “ kepuasan adalah meninggalkan keingin melihata apa yang tidak ada dan merasa cukup dengan yag ada.”
Keutamaan Qona’ah
1.    Kepasan adalah pertanda suatu kemenangan.
2.    Kepuasan membuahkan berkah dalam harta.
3.    Kepuasan menunjukan sejauh mana rasa syukur seseorang, semangat memuja dan memuji yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Rabb-Nya, serta merasa betapa banyak nikmat Allah SWT atas dirinya.
4.    Rasa puas akan membuahkan kecintaan dari Allah dan manusia.
5.    Kepuasan adalah kekayaan sebenarnya yang membuahkan iman, taqwa, ridha dan semua keutamaan.
Jenis-jenis Qona’ah
Pertama secara lahir menurut tingkatan dalam islam dan alam panca indera, dan dua macam secara batin dalam tingkatan iman dan ihsan dengan jiwa dan ruh. Demikian kepuasan berkenaan dengan perkara rezeki dan perkara dunia.
Kedua secara batin hati jika melihat dengan imannya kepada akhirat, dunia dan keduanya akan ada jenjang dan jarak.
Fadillah Qona’ah
Jika nafsu telah diciptakan dengan sifat tamak dan rakus, disana ada obat untuk itu, merupakan sebuah sifat yang bisa diupayakan, yaitu rasa puas (Qona’ah). Seluruhnya ada lima perkara yaitu:
1.      Sederhan adalam kehidupan
2.      Jika ia pada waktu itu sudah mendapatkan kemudahan denga kecukupan, tidak perlu terlalu goncang karena menghadapi masa yang akan datang.
3.      Hendaklah seseorang mengetahui bahwa didalam rasa puas terdapat kebanggaan diri merasa telah cukup, sedangkan dala keutamaan dan kerakusan terkandung kehinaan.
4.      Hendaknya seseorang mengarahkan perenungannya kepada kemudahan ekonomi yang dialami oleh orang-orang yahudi dan nasrani dan mengamati berbagai kehinaan pada diri manusia dan orang-orang bodoh diantar mereka.
5.      Seseorang harus paham bahwa menimbun harta itu suatu upaya yang sangat berbahaya.
Sebab-sebab yang bisa diuapayakan untuk mencapai sifat merasa kepuasan adalah sebagai berikut:
1.      Menyibukan diri dengan ibadah, ketaatn, dan mengosongkan hati demi meminta kemulyaan.
2.      Selalu merenungkan banyaknya nikmat yang telah diberikan kepadanya sekalipun ia masih fakir.
3.      Mengalahkan nafsu untuk tidak meminta dan mencukupkan diri dari makhluk.
4.      Keterikatan hati hanya kepada allah SWT.

e.    ‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”. 
Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
1.      Mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
2.      Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
3.      Hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri.

f.     Al- Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki,   karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal.
Al Junaid berpandangan bahwa keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini, nabi pernah bersabda,”Sekalian makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan keadaan mereka ketika mati.” Maksudnya sesuai dengan keyakinan mereka ketika mati.


g.    Tawadhu’[4]
Tawadhu’ merupakan sikap rendah diri dan saling menghargai diantara sesama makhluk, dimana sikap tersebut terapresiasi tanpa adanya bentuk-bentuk skets dan diskriminasi. Sikap tawadhu’ yang tertanam dalam hati seseorang muslim adalah suatu usaha untuk menghindari sikap tamak (rakus) dan tamak.
Tawadhu’ mempunyai tiga tahap:
1.      Tawadhu’ kepada agama
2.      Meridhoi seorang muslim sebagai saudara sesama hamba Allah
3.      Tunduk kepada kebenaran (Allah) dengan melepaskan pendapat dan kebiasaaan dalam mengabdi tidak melihat hak dalam mu’alamah.[5]
Ciri- ciri orang yang tawadhu’:
1.      Menyukai ketidaktenaran dan membenci kemasyhuran.
2.      Menerima kebenaran baik dari orang yang sederajat, lebih tinggi maupun lebih rendah derajatnya.
3.      Bergaul dengan orang fakir .
4.      Menghargai hak orang lain.
5.      Tidak menganggap dirinya berharga
6.      Jika mendapat hikmat ia menerimanya dengan ketenangan hati dan rasa bersyukur tidak dengan berbangga diri dan berbangga hati.
7.      Tidak menyukai kehormatan tidak menganggap dirinya mempunyai realitas dan derajat tertentu.
8.      Menurut Ahmad Suyuthi ciri-ciri sikap tawadhu’ adalah selalu memelihara pergaulan dengan sesama tanpa merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain serta tidak suka melecehkan orang lain. Senantiasa mengakui bahwa setiap orang pasti punya kelebihan masing-masing sehingga tidak punya alasan untuk saling menghina.
Fadhilah Bertawadhu’
Orang yang mempunyai sikap tawadhu’ selalu menganggap dirinya rendah walaupun dia dimuliakan dengan kekayaan dan kelebihan-kelebihan tertentu yang dimilikinya, ia tetap sama dengan mahluk Allah lainnya. Dia tidak merasa besar karena pujian dan tidak ciut nyali karena cemoohan.
Bahwasanya orang yang tawadhu’ telah dijanjikan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah, sedangkan orang yang takabur akan direndahkan derajatnya. Nabi SAW telah bersabda

h.    Al-fana’
Dari segi bahasa, kata al-fana berarti musnah atau lenyap. Menurut abu bakr al-kalabazi, fana dalam tasawuf adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada, pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan dalam ia berbuat sesuatu.al-fana juga berarti hilangnya sifat-sifat kemanusiaan, berganti dengan sifat-sifat ketuhanan. Sebab, dikalangan sufi dikenal ungkapan “dia fana dari sifat-sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya dan akan baqa’ dalam sifat-sifat yang maha haq”.
Menurut sebagian ahli al-fana terbagi dalam tiga derajat, yaitu:
1.      Transformasi moral jiwa melalui pelenyapan serta hawa nafsu.
2.      Abstraksi mental atau pelenyapan pikiran dari semua objek persepsi, pikiran, tindakan, dan perasaan melalui konsentrasi pada pemikiran kepada tuhan, khususnya dzikir atas sifat-sifat truhan.
3.      Berhentinya semua pemikiran sadar, dengan kata lain, lenyapnya kesadaran telah mencapai fana itu sendiri. Derajat inilah yang oleh para sufi disebut sebagai fana’ulfana’.

i.      Al-baqa’
Dari segi bahasa kata al-baqa berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada allah. Konsep al-fana tidak dapat dipisahkan dengan al-baqa’. Keduanya merupakan konsep yang berpasangan jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia juga sedang menjalani baqa’. Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-quyairimenyatakan: “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Jika ia fana’ dari syahwatnya berarti ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan beribadah.”

j.      Al-ittihad
Jika tahap albaqa’ telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula tahap ittihad. Dalam tingkatan ini seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu dengan tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik jauhar(substansi)maupun perbuatannya. Dalam keadaan demikian, maka penunjukan antara ia dan yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa swgala sesuatu yang ada ini dilihat sebagaiwujud yang satu itu sendiri. Pada sat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud tuhan itu sendiri, demikian pula selanjutnya.

k.    Hulul
Hulul, menurut keterangan al tusi dalam al-luma’, sebagai dikutip Harun Nasution, ialah paham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-hajjaj pernah mengaku bersatu dengan tuhan (hulul). Dalam keadaan bersatu dengan tuhan, ia menyatakan ana al-haqq (saya adalah tuhan). Dengan mengeluarkan pernyataan seperti ini tidak berarti dirinya mengaku sebagai tuhan.

l.      Wahdat Al-Wujud
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah ajarannya tentang wahdat al wujud. Meskipun demikian, istilah wahdat al wujud yang dipaki untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidak berasal darinya, tetapi berasal dari ibn taimyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang berpaham wahat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluq. Selain itu orang-orang yang berpaham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa ujud alam satu dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn Arabi, wujud alam adalah ‘ain wujud allah dan allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khaliq dengan wujud yang baru disebut makhluk. Tidak ada perbedaan ‘abid dengan ma’bud. Bahkan, ‘abid dan ma’bud atau yang menyembah dan disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakekat yang satu.[6]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yaitu dari segi bahsa berarti sifat dan keadaan sesuatu. Dalam Kitab Isthilahat Al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai pemberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagai buah dari amal saleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata. Maka dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasaldari tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendakinya.
Tingkatan-tingkatan dalam hal adalah:
1.      Khauf
2.      Raja’
3.      Syauq
4.      Qana’ah
5.      ‘Uns
6.      Yaqin
7.      Tawadu’
8.      Fana’
9.      Baqa’
10.  Ittihad
11.  Wahdatul Al-Wujud
B.     Saran
Penulis dalam menulis makalah ini pastilah belum sempurna, maka dari itu penulis berharap teman-teman dan pembaca sudi memberikan saran dan kritik untuk kebaikan makalah berikutnya.


Daftar Pustaka

Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf  Dan Tarekat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Razak,Abdul. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Jauhari,Imam Khanafi. 2010. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf. Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.
Zuhri,Amat. 2009. Ilmu tasawuf. Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.































[1] Ris’an Rusli, Tasawuf  Dan Tarekat,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013) hlm.58
[2] Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf,(Pekalongan:STAIN Pekalongan Press,2009) hlm.50
[3] Imam Khanafi Al-Jauhari,Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf,(Pekalongan:STAIN Pekalongan Press,2010) hlm.114-120
[4] Imam Khanafi Al-Jauhari,ibid, hlm 137-143
[5] Abdul Razak, Filsafat Tasawuf,(Bandung:Pustaka Setia,2010) hlm.226
[6] Ris’an Rusli,op.cit,hlm.138-139

1 komentar:

  1. Titanium Grinder - Tinting, Inc. - Tinting, Inc.
    This item is titanium cerakote a no-cost razor to use on anything, but do the Tinting Inc. 2020 ford ecosport titanium website know better? Titanium Grinder suppliers of metal offers titanium nose rings a wide selection of products, titanium sunglasses

    BalasHapus