HAL DAN TINGKATANNYA
DALAM TASAWUF
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Imam Khanafi Al-Jauhari
Disusun oleh :
1. Wilda karimah 2021113046
2. Naili Nikmah 2021113153
Kelas / Prodi : C / Tarbiyah-PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
PENDAHULUAN
Tasawuf
merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan
oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup
pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau
logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman
Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup
‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi
melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan. Di dalam makalah ini
penulis akan membahas tentang ahwal (jama’
dari hal) dan tingkat-tingkatannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hal
Ahwal adalah bentuk jamak
dari hal, yaitu dari segi bahsa berarti sifat dan keadaan sesuatu. Dalam
Kitab Isthilahat Al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai pemberian yang
tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagai buah dari amal saleh yang
menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari tuhan sebagai pemberian
semata. Maka dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasaldari
tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendakinya.[1]
Secara
lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam
hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa
senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau
suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib).
Hal, datang dari wujud itu sendiri. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri
berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam hati
manusia, tanpa ia mampu menolaknya bila datang, atau meraihnya bila
pergi, dengan ikhtiarnya sendiri.
2.
Tingkatan
Dalam Hal
a. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena
kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang
kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah
rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi
dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat,
diantaranya adalah:
1.
Tingkatan
Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita,
perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2. Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan
melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat
ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela
karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada
pada khauf qashir dan mufrith.
b. Raja’
Raja’ dapat
berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Menurut
Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
1. raja’ bersama Allah (fi
Allah)
2. raja’ di dalam luasnya
rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3. raja’ di dalam pahala
Allah (fi tsawab Allah).
Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga
perkara, yaitu:
1.
Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2.
Takut bila harapannya hilang.
3.
Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak
dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap
orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap
untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan
karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang
mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan
Tuhan.
c. Syauq (rindu)
Secara
literal, syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut
Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud
bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut
Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa
dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu,
Dzunun memandang syawq sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika sang
hamba sudah mencapai derajat Syawq ini mati rasanya mudah dan ringan karena
kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan
dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan
gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu.
Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di
setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya
kepada Allah, itulah Syawq (rindu).
Menurut
Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.
1.
Mereka yang merindu kepada
janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan
keridlaan-Nya.
2.
Mereka yang rindu kepada
kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak
bertemu dengan kekasihnya.
3.
Mereka yang menyaksikan
kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi,
maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja.
Dengan
demikian, seorang sufi apabila sedang dilanda syauq akan merasa tersiksa dan
sedih batinnya karena ingin selalu bertemu dengan tuhan.[2]
d.
Qona’ah[3]
Menurut
Muhammad bin Ali At-Tirmidzi “ kepuasan adalah ridho dalam hati terhadap apa
yang telah diberikan oleh Allah berupa rezeki”. Menurut Abu Abdullah bin Khafif
“ kepuasan adalah meninggalkan keingin melihata apa yang tidak ada dan merasa
cukup dengan yag ada.”
Keutamaan
Qona’ah
1.
Kepasan adalah pertanda
suatu kemenangan.
2.
Kepuasan membuahkan berkah
dalam harta.
3.
Kepuasan menunjukan sejauh
mana rasa syukur seseorang, semangat memuja dan memuji yang dilakukan oleh
seorang hamba kepada Rabb-Nya, serta merasa betapa banyak nikmat Allah SWT atas
dirinya.
4.
Rasa puas akan membuahkan
kecintaan dari Allah dan manusia.
5.
Kepuasan adalah kekayaan
sebenarnya yang membuahkan iman, taqwa, ridha dan semua keutamaan.
Jenis-jenis Qona’ah
Pertama
secara lahir menurut tingkatan dalam islam dan alam panca indera, dan dua macam
secara batin dalam tingkatan iman dan ihsan dengan jiwa dan ruh. Demikian
kepuasan berkenaan dengan perkara rezeki dan perkara dunia.
Kedua secara
batin hati jika melihat dengan imannya kepada akhirat, dunia dan keduanya akan
ada jenjang dan jarak.
Fadillah
Qona’ah
Jika nafsu telah diciptakan dengan sifat tamak dan rakus,
disana ada obat untuk itu, merupakan sebuah sifat yang bisa diupayakan, yaitu
rasa puas (Qona’ah). Seluruhnya ada lima perkara yaitu:
1.
Sederhan adalam kehidupan
2.
Jika ia pada waktu itu
sudah mendapatkan kemudahan denga kecukupan, tidak perlu terlalu goncang karena
menghadapi masa yang akan datang.
3.
Hendaklah seseorang
mengetahui bahwa didalam rasa puas terdapat kebanggaan diri merasa telah cukup,
sedangkan dala keutamaan dan kerakusan terkandung kehinaan.
4.
Hendaknya seseorang
mengarahkan perenungannya kepada kemudahan ekonomi yang dialami oleh
orang-orang yahudi dan nasrani dan mengamati berbagai kehinaan pada diri
manusia dan orang-orang bodoh diantar mereka.
5.
Seseorang harus paham bahwa
menimbun harta itu suatu upaya yang sangat berbahaya.
Sebab-sebab yang bisa diuapayakan untuk mencapai sifat
merasa kepuasan adalah sebagai berikut:
1.
Menyibukan diri dengan
ibadah, ketaatn, dan mengosongkan hati demi meminta kemulyaan.
2.
Selalu merenungkan
banyaknya nikmat yang telah diberikan kepadanya sekalipun ia masih fakir.
3.
Mengalahkan nafsu untuk
tidak meminta dan mencukupkan diri dari makhluk.
4.
Keterikatan hati hanya
kepada allah SWT.
e. ‘Uns
Dalam
tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns
adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat.
Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta
terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada
khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata
dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.
Menurut
Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna
kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu
yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang
yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
1.
Mereka yang merasa intim
dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan
dan jauh dari dosa.
2.
Ketika sang hamba sudah
sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni
pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
3.
Hilangnya pandangan tentang
‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri.
Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri.
f. Al-
Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam
dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan
secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang
mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh
dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin
adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan
yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap
jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia
adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh
ahwal.
Al Junaid
berpandangan bahwa keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak
berbalik, tidak berpindah, dan tidak berubah. Karena tetapnya keyakinan ini,
nabi pernah bersabda,”Sekalian makhluk nanti akan dibangkitkan sesuai dengan
keadaan mereka ketika mati.” Maksudnya sesuai dengan keyakinan mereka ketika
mati.
g.
Tawadhu’[4]
Tawadhu’ merupakan sikap rendah diri dan
saling menghargai diantara sesama makhluk, dimana sikap tersebut terapresiasi
tanpa adanya bentuk-bentuk skets dan diskriminasi. Sikap tawadhu’ yang tertanam
dalam hati seseorang muslim adalah suatu usaha untuk menghindari sikap tamak
(rakus) dan tamak.
Tawadhu’ mempunyai tiga tahap:
1.
Tawadhu’ kepada agama
2.
Meridhoi seorang muslim sebagai saudara sesama hamba
Allah
3.
Tunduk kepada kebenaran (Allah) dengan melepaskan
pendapat dan kebiasaaan dalam mengabdi tidak melihat hak dalam mu’alamah.[5]
Ciri- ciri orang yang tawadhu’:
1.
Menyukai ketidaktenaran dan membenci kemasyhuran.
2.
Menerima kebenaran baik dari orang yang sederajat, lebih
tinggi maupun lebih rendah derajatnya.
3.
Bergaul dengan orang fakir .
4.
Menghargai hak orang lain.
5.
Tidak menganggap dirinya berharga
6.
Jika mendapat hikmat ia menerimanya dengan ketenangan
hati dan rasa bersyukur tidak dengan berbangga diri dan berbangga hati.
7.
Tidak menyukai kehormatan tidak menganggap dirinya mempunyai
realitas dan derajat tertentu.
8.
Menurut Ahmad Suyuthi ciri-ciri sikap tawadhu’ adalah
selalu memelihara pergaulan dengan sesama tanpa merasa dirinya lebih tinggi
dari orang lain serta tidak suka melecehkan orang lain. Senantiasa mengakui
bahwa setiap orang pasti punya kelebihan masing-masing sehingga tidak punya
alasan untuk saling menghina.
Fadhilah
Bertawadhu’
Orang yang
mempunyai sikap tawadhu’ selalu menganggap dirinya rendah walaupun dia
dimuliakan dengan kekayaan dan kelebihan-kelebihan tertentu yang dimilikinya,
ia tetap sama dengan mahluk Allah lainnya. Dia tidak merasa besar karena pujian
dan tidak ciut nyali karena cemoohan.
Bahwasanya orang
yang tawadhu’ telah dijanjikan akan ditinggikan derajatnya oleh Allah,
sedangkan orang yang takabur akan direndahkan derajatnya. Nabi SAW telah
bersabda
h. Al-fana’
Dari segi bahasa, kata al-fana berarti musnah atau lenyap. Menurut
abu bakr al-kalabazi, fana dalam tasawuf adalah hilangnya semua keinginan hawa
nafsu seseorang, tidak ada, pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia
kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan dalam ia berbuat sesuatu.al-fana juga
berarti hilangnya sifat-sifat kemanusiaan, berganti dengan sifat-sifat
ketuhanan. Sebab, dikalangan sufi dikenal ungkapan “dia fana dari sifat-sifat
kemanusiaan yang ada pada dirinya dan akan baqa’ dalam sifat-sifat yang maha
haq”.
Menurut sebagian ahli al-fana terbagi dalam tiga derajat, yaitu:
1.
Transformasi moral jiwa melalui pelenyapan serta hawa nafsu.
2.
Abstraksi mental atau pelenyapan pikiran dari semua objek
persepsi, pikiran, tindakan, dan perasaan melalui konsentrasi pada pemikiran
kepada tuhan, khususnya dzikir atas sifat-sifat truhan.
3.
Berhentinya semua pemikiran sadar, dengan kata lain, lenyapnya
kesadaran telah mencapai fana itu sendiri. Derajat inilah yang oleh para sufi
disebut sebagai fana’ulfana’.
i.
Al-baqa’
Dari segi bahasa kata
al-baqa berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada allah. Konsep al-fana
tidak dapat dipisahkan dengan al-baqa’. Keduanya merupakan konsep yang
berpasangan jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia juga
sedang menjalani baqa’. Dalam menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’,
al-quyairimenyatakan: “Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela,
maka ia sedang fana’ dari syahwatnya. Jika ia fana’ dari syahwatnya berarti ia
baqa’ dalam niat dan keikhlasan beribadah.”
j. Al-ittihad
Jika
tahap albaqa’ telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula tahap
ittihad. Dalam tingkatan ini seorang sufi telah merasa bahwa dirinya bersatu
dengan tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik
jauhar(substansi)maupun perbuatannya. Dalam keadaan demikian, maka penunjukan
antara ia dan yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa swgala
sesuatu yang ada ini dilihat sebagaiwujud yang satu itu sendiri. Pada sat itu,
maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud tuhan itu sendiri, demikian
pula selanjutnya.
k. Hulul
Hulul, menurut keterangan al tusi dalam
al-luma’, sebagai dikutip Harun Nasution, ialah paham yang mengatakan bahwa tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-hajjaj pernah mengaku bersatu dengan tuhan (hulul).
Dalam keadaan bersatu dengan tuhan, ia menyatakan ana al-haqq (saya adalah tuhan). Dengan
mengeluarkan pernyataan seperti ini tidak berarti dirinya mengaku sebagai
tuhan.
l. Wahdat
Al-Wujud
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah
ajarannya tentang wahdat al wujud. Meskipun demikian, istilah wahdat al wujud
yang dipaki untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidak berasal darinya, tetapi
berasal dari ibn taimyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik
ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat
al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang
yang berpaham wahat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib
al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah mumkin al-wujud yang dimiliki oleh
makhluq. Selain itu orang-orang yang berpaham wahdat al-wujud itu juga
mengatakan bahwa ujud alam satu dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan
tidak ada perbedaan.
Menurut Ibn Arabi, wujud alam adalah
‘ain wujud allah dan allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara
wujud yang qadim yang disebut khaliq dengan wujud yang baru disebut makhluk.
Tidak ada perbedaan ‘abid dengan ma’bud. Bahkan, ‘abid dan ma’bud atau yang
menyembah dan disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari
hakekat yang satu.[6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahwal adalah bentuk jamak
dari hal, yaitu dari segi bahsa berarti sifat dan keadaan sesuatu. Dalam
Kitab Isthilahat Al Shuffiyat, ahwal diterangkan sebagai pemberian yang
tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagai buah dari amal saleh yang
menyucikan jiwa, menjernihkan hati maupun datang dari tuhan sebagai pemberian
semata. Maka dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasaldari
tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendakinya.
Tingkatan-tingkatan dalam hal adalah:
1. Khauf
2. Raja’
3. Syauq
4. Qana’ah
5. ‘Uns
6. Yaqin
7. Tawadu’
8. Fana’
9. Baqa’
10. Ittihad
11. Wahdatul Al-Wujud
B.
Saran
Penulis dalam menulis makalah ini pastilah belum sempurna, maka dari itu
penulis berharap teman-teman dan pembaca sudi memberikan saran dan kritik untuk
kebaikan makalah berikutnya.
Daftar Pustaka
Rusli,
Ris’an. 2013.
Tasawuf Dan Tarekat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Razak,Abdul.
2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia.
Al-Jauhari,Imam Khanafi. 2010. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf. Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.
Zuhri,Amat. 2009. Ilmu
tasawuf. Pekalongan:STAIN Pekalongan Press.
[3] Imam Khanafi Al-Jauhari,Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf,(Pekalongan:STAIN Pekalongan Press,2010)
hlm.114-120
Titanium Grinder - Tinting, Inc. - Tinting, Inc.
BalasHapusThis item is titanium cerakote a no-cost razor to use on anything, but do the Tinting Inc. 2020 ford ecosport titanium website know better? Titanium Grinder suppliers of metal offers titanium nose rings a wide selection of products, titanium sunglasses