Senin, 21 Maret 2016

Muhammad Abduh



MUHAMMAD ABDUH

Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah                        : Studi Tokoh Pendidikan Islam 
Dosen Pengampu                : Failasuf Fadli, M.S.I





Oleh:
Afiq Mahrus                2021113023
Dewi Isma Atiqoh      2021113021
Naili Nikmah               2021113153
Nihlatus Sofa              2021113268

Kelas : F

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pendidikan islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki dasar dan sumber rujukan yang hanya tidak berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah terkait dengan masalah pendidikan.
            Harusnya dengan keterjalinan antara sumber akal  dan wahyu tersebut dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang telah berjalan sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses hingga saat ini. Hanya saja teori-teori pendidikan mereka seakan tenggelam karena masuknya term-term baru yang muncul belakangan ini terutama yang berasal dari referensi barat, sedemikian rupa sehingga timbul kesan seolah-olah perintis penemuan keilmuan pendidikan itu seluruhnya dari barat.
            Memudarnya masa kejayaan umat islam ini bersifat sistematik, kompleks dan disebabkan oleh multi faktor. Dalam konteks ini, untuk mengawali proses keluar dari kemelut kemunduran tersebut yaitu melalui penggalian khazanah intelektual tokoh muslim yang terkait dengan pendidikan. Salah satu tokoh tersebut adalah Muhammad Abduh, Muhammad Abduh cenderung memandang jalur pendidikan merupakan sarana yang lebih tepat untuk memajukan umat. Ia melakukan reformasi kurikulum dan revolusi pembelajaran di Al-Azhar.karena pemikaran-pemikiran pendidikannya yang cemerlang, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang Muhammad Abduh sebagai salah satutokoh pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Muhammad Abduh
Nama Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh) adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah lahir tahun 1266H/1849 M di Mahallat al-Nasr, kawasan shubrakhit, provinsi Buhayrah. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani di dataran rendah mesir. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khair Allah, seorang petani yang hidupnya sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallat Nashr. Karena situasi politik yang tidak stabil menyebabkan orang tuanya menyingkir  ke desa kelahirannya dan kembali ke Mahallat Nashr setelah situsi politik mengizinkan. Di kota itulah Abduh menjadi  remaja dengan kegemaran yang umumnya digemari oleh remaja di masanya.[1]
Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammad Abduh adalah belajar Al Quran.  Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun ia telah hafal kitab suci itu seluruhnya, padahal ketika itu ia masih berusia 12 tahun.[2] Pada tahun 1279 H (1863 M)  Muhammad Abduh dikirim dikirim orang tuanya ke Tanta untuk meluruskan bacaannya di mesjid Al Ahmadi. Dua tahun kemudian ia mulai mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan dimesjid itu, tetapi karena metode pengajaran yang salah, setelah satu setengah tahun belajar Muhammad Abduh masih belum mengetaui apa-apa. Karena tidak puas ia meninggalkan Tanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat akan kembali belajar. Tetapi, ia dipaksa orang uanya kembali ke Tanta. Dalam pelajarannya ke Tanta ia lari ke desa  Kanisah Urin, ketempat  kerabatnya yaitu Syeikh Darwisy Khadr  yang merupakan seorang berpengetahuan luas tentang agama islam. Syeikh Darwisylah yang mendorong Muhammad Abduh untuk kembali membaca buku dan jika ada yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Syekh Darwisy.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, pada tahun 1282 H/1866 M ia kembali ke masjid Ahmadi di Tanta. Beberapa bulan kemudian ia pergi ke kairo untuk meneruskan pelajaran di Al Azhar dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877 M.[3]
Pada tahun 1869 M, Muhammad Abduh bertemu dengan seorang ulama besar bernama Said Jamaludin Al Afghani dalam sebuah diskusi.  Sejak saat itulah Abduh mulai tertarik kepada Said Jamaludin oleh ilmunya dan cara berpikirnya yang modern.  Said Jamaludin adalah seorang yang mempunyai semangat tinggi untuk memutus rantai kekolotan dan cara berpikir yang fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju.
Udara baru yang ditiupkan oleh Said Jamaludin, berkembang pesat di mesir, terutama dikalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[4]
Puncak karirnya adalah dikala ia diangkat menjadi mufti besar pada 3 Juni 1899 menggantikan Syeikh Hasunah Al Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lamanya muhammad Abduh meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905.[5]
B.       Setting Sosial
Masyarakat mesir tak ubahnya seperti masyarakat muslim lainnya. Ketika Abduh lahir dan di besarkan di Mahallah Nasr, ternyata kondisi masyarakatnya telah memiliki sejumlah potensi konflik horizontal. Peta sosial-politik pada saat itu telah mengundang penderitaan rakyat, seperti kemiskinan sosial, kekayaan yang bertumpuk-tumpuk di tengah penguasa dan pejabat-pejabat istana. Berkaitan dengan hal itu, Arbiyah Lubis telah meneragkan tentang ekspedisi tentara Napoleon tanggal 2 Juni 1798 yang mudah dapat memusnahkan kekuatan militer kerajaan mamluk dan menundukkan Mesir. Menyusul keberadaan bangsa Perancis di Mesir merupakan sebuah cambuk dalam membuka peluang dan kesadaran rakyat mesir dan para ulamanya akan mengalami kemunduran yang mereka alami selama ini.
 Kelahiran Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir. Terjadinya kekerasan dan pemerasan pajak yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Ali  Pasya ternyata dapat melahirkan proses pembaharuan di segala bidang.
Sosok Abduh ketika melihat kondisi sosio-politik yang berkembang, sebenarnya bukan termasuk kategori seorang yang radikal dan revolisioner. Meskipun dia selalu berperan aktif dalam konstelasi politik yang berkembang, lebih-lebih keterlibatannya dalam pemberontakan pasya yang tidak dapat dihindarkan. Akhirnya, lawan-lawan politiknya dapat menjadikan Khadefi Taufiq sebagai kendali pemerintahan saat itu.
Jadi, peta politik yang berkembang di masyarakat pada era Abduh terkesan tidak menguntungkan bagi generasi yang ingin mengembangkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang lebih kondusif sejalan dengan berbagai agenda reformasi dalam konteks penataan kembali kehidupan masyarakatnya yang cenderung kurang perhatian terhadap nasib penderitaan dan kemunduran yang mereka alami selama ini.
Dari konteks paradigma soaial politik yang berkembang, terutama yang berkaitan dengan berbagai kebijakan pemerintah pada saat itu ternyata benar-benar tampak adanya ketidakadilan, kesenjangan yang cukup serius antara pihak penguasa dan rakyat, bahkan berbagai segi kehidupan yang lain.
Selain kondisi sosial politik kondisi agama dan pendidikan pada era Abduh juga banyak mengalamai permasalah. Pada masa Abduh, muncul berbagai penyimpangan pemahaman agama ditengah masyarakat, seperti statis, bid’ah dan khurafat. Karena itu, Abduh juga mempunyai solusi dalam penguasaannya terhadap berbagai bahasa,syariat dan aqidah dan sistem masyarakat.Persoalan lain juga muncul, dimana agama kehilangan ruhnya dan tinggal simbol-simbol yang tidak bermakna bertebaran.
Di bidang pendidikan muncul dualisme ilmu pengetahuan. Persoalan lain yang muncul adalah adanya paradigma metodologi pendidikan yang berkembang tidak sejalan dengan tuntutan zaman dan pendidikan yang muncul pada saat itu terkesan ortodoks dan tradisional.[6]
C.      Pendekatan
Sebagai seorang modernis, Muhammad abduh menghadapi tantangan yang datang dari barat dan tuntutan dunia modern dengan mengguanakan pendekatan identifikatif, selain juga menggunakan pendekatan apologetik. Kedua pendekatan inilah yang membuat Muhammad Abduh senantiasa mengacu kepada barat dalam hal intelektualitas-modernitas dan berkiblat pada Al-Quran dan Al Sunnah dalam hal moralitas.
Pendekatan identifikatif bisa diamati dari esensi pemikirannya pada perumusannya terhadap pemikiran dan revitalisasi masyarakat muslim melalui identifikasi gagasan-gagasan dan intuisi modern. Adapun pendekatan apologetiknya terlihat dari upaya gigihnya untuk mengukuhkan dan mempertahankan eksistensi doktrin islam sebagai landasan utamanya.[7]
D.      Teori
1.      Kalam
Pemikiran kalam  Abduh meliputi beberapa hal, yaitu masalah perbuatan manusia, qada’ qadar, dan sifat-sifat Allah. Bagi Abduh manusia adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya, karena didukung iga unsur yaitu: akal, kemauan dan daya. Masalah qada’ dan qadar, menurut abduh adalah meyakini bahawa setiap peristiwa dilatarbelakangi oleh sebab.[8]

2.      Syariah
Dalam bidang syariah abduh menekankan pada persoalan ijtihad, yaitu corak usaha yang ditempuh dalam memahami syariah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurutnya syariah  ditinjau dari dua sudut yang bersifat qat’i dan zhanni. Qat’i yaitu yang ditunjukannya oleh al Qur’an dan oleh rasulullah SAW dan Zhanni yaitu hukum-hukum yang ditunjukkan nash dan ijma’.[9]
3.      Teori pendidikan muhammad abduh
a.      Konsep ilmu pengetahuan
Muhammad abduh memandang perlunya integrasi pendidikan islam dengan pendidikan umum. Hal ini didasarkan pada pandangannya terhadap ilmu yang tidak dibedakannya antara ilmu keagamaan dan ilmu kealaman sebagaimana penafsiran surat al Alaq ayat 5. Penafsiran abduh atas ayat kelima dari surat al alaq mengandung tiga hal yang terkait dengan modernisasi pendidikannya. Pertama, bahwa ilmu adalah ciptaan Allah. Kedua, bahwa Allah merupakan pendidik yang sejati. Ketiga, ilmu-ilmu kealaman mempunyai kedudukan yang sama dengan ilmu keagamaan.
Abduh memandang akan kesamaan atau kesederajatan antara ilmu agama dan ilmu kealaman. Keduanya tidak lagi dipisahkan antara agama sebagai produk tuhan dan ilmu sebagai produk akal. Dalam pandangan modernisasi pendidikan abduh, antara ilmu dan agama, keduanya mempunyai hubungan yang saling memperkokoh keberadaan masing-masing. Semakin dalam pengetahuan manusia tentang agama semakin dalam pula pengetahuannya mengenai ilmu alam. Dengan alur ilmu dan agama yang demikian maka tidak  sulit untuk menjadikan manusia yang berintelektual sekaligus bermoral.[10]

E.       Ide Pokok
Sebagai seorang pembaharu atau modernis ide dan pemikiran Abduh mencakup dalam berbagai bidang.  Meskipun pemikirannya mencakup berbagai segi, jika diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan.
Beberapa pemikiran Abduh dalam pembaharuan pendidikan adalah:
1.      Menenntang dan menghilangkan dualisme dalam pendidikan
Gagasan Abduh paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah ia sangat menentang sistem dualisme.
2.      Merumuskan tujuan lembaga pendidikan sesuai dengan struktur satuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Abduh adalah tujuan dalam pengertian luas, mencakup aspek akal (kognitif), dan aspek spiritual (afektif).
3.      Menyusun kurikulum
Muhammad abduh merumuskan kurikulum berdasarkan tingkatan pendidikan, yaitu tingkat dasar, meenengah dan peruguruan tinggi. Pengorganisasian kurikulum didasarkan pada pembagian manusia sesuai dengan lapangan pekerjaan yang akan mereka geluti.[11]
4.      Metode
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dengan metode hafalan, rasional dan pemahaman. Disamping menghafal siswa juga memahami materi yang dihafalnya. Selain itu, Abduh juga mengidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan.[12]
5.      Peserta didik
Pendididikan harus diikuti oleh semua orang baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan Q.S. Al Baqoroh ayat 228.
6.      Pendidikan nonformal
Dalam pendidikan non formal abduh menyebutkan islah dan ini diperlu adanya campur tagan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan da’i.[13]
F.       Analisis Pemikiran
Corak pemikiran muhammad Abduh yaitu:
a.       Modernisme
Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagasan penyesuaian inilah yang kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari gagasan modernisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhdap taqlid.
Berkaitan dengan modernisme ini, Fazlur Rahman memberikan pernyataannya bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, di antaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Bagi fazlur rahman, kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara “pemikiran-pemikiran Qur’ani” dengan “pemikiran modern”.
Muhammad Abduh sebagai pelaku modernis telah menyikapi peradaban barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslim. Nilai-nilai gagasan tertentu yang lahir dari peradaban barat, seperti demokrasi, prinsip kebersamaan, dan kemerdekaan, serta konsep Negara-bangsa di terima Muhammad Abduh dengan bingkai islam secara kritis.
Namun demikian, Abduh tidak pernah berpikir, apalagi berusaha, untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia barat. Karena di samping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguan, di sebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur social masyarakat masing-masing daerah. Islam, menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkannya dari segi-segi negative yang menyertainya. Dengan demikian, peradaban tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk islam”
Sedangkan ekspresi peradaban barat dalam bentuk kolonialisme dan imperialism modern ditentang Muhammad Abduh dengan berbagai cara dan strategi. Dalam pandangan Nurcholis Majid, modernisme Muhammad Abduh diantaranya tercermin dalam sikapnya yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap falsafah, Abduh kirannya memberikan penekanan serius terhadap falsafah, agar pola pikir kaum muslim lebih rasional dan terbebas dari kebekuan.
Sementara itu, John O.Voll menambahkan bahwa kaum modernis-reformis memiliki tiga tema utama pembaruan, yaitu kembali kepada Al Quran dan hadis, perlunya ijtihad dalam memecahkan persoalan kaum muslim, dan penguatan kembali autentisitas serta keunikan dan keistimewaan Al Quran.
b.      Rekonstruksionisme
Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali (rekonstruksi). Agar tradisi suatu masyarakat dapat tetap survive dan terus diterima, ia harus di bangun kembali, atau dengan istilah lain I’adab al-bunyat min jadid. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern yang bersyarat rasional. Hal ini diakui juga oleh fazlur rahman bahwa pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama, secara filosofis telah dikemukakan Muhammad Abduh dan kemudian diperkuat oleh Muhammad iqbal.[14]
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Nama Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh) adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah lahir tahun 1266H/1849 M di Mahallat al-Nasr, kawasan shubrakhit, provinsi Buhayrah.
Kelahiran Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir. Terjadinya kekerasan dan pemerasan pajak yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Ali  Pasya ternyata dapat melahirkan proses pembaharuan di segala bidang.
Pendekatan yang digunakan Muhammad Abduh adalah pendekatan identifikatif dan apologetik. Pembuan yang dilakukan Abduh meliputi berbagai bidang yaitu kalam, syariah dan pendidikan. Corak pemikiran Abduh adalah modernisme dan rekontruksionisme
















DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd Rahman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Abduh, Syekh Muhammad. 1992. Risalah Tauhid.diterjemahkan Firdaus FN.Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution, Harun.1987. Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press.
Ramayulis. 2011. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Kalam Mulia.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang.2009. Pendidikan Islam Dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
Sholehuddin, Sugeng.2010. Reinventing Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam. Pekalongan : STAIN Press.
Shafwan, Muhammad Hambal.2014. Intisari Sejarah Pendidikan Islam. Solo: Pustaka Arofah
Khodir, Abdul. 2015.Sejarah Pendidikan Islam.Bandung: Pustaka Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar