MUHAMMAD ABDUH
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata
Kuliah : Studi
Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Failasuf Fadli, M.S.I
Oleh:
Afiq Mahrus 2021113023
Dewi Isma Atiqoh 2021113021
Naili Nikmah 2021113153
Nihlatus Sofa 2021113268
Kelas : F
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini disebabkan
karena pendidikan islam secara teoritik memiliki dasar dan sumber rujukan yang
hanya tidak berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dan wahyu
ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan
firman Allah terkait dengan masalah pendidikan.
Harusnya
dengan keterjalinan antara sumber akal
dan wahyu tersebut dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan
yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya pengembangan
konsep dan pemikiran pendidikan islam yang telah berjalan sejak dahulu dengan
banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih
bisa diakses hingga saat ini. Hanya saja teori-teori pendidikan mereka seakan
tenggelam karena masuknya term-term baru yang muncul belakangan ini terutama
yang berasal dari referensi barat, sedemikian rupa sehingga timbul kesan
seolah-olah perintis penemuan keilmuan pendidikan itu seluruhnya dari barat.
Memudarnya
masa kejayaan umat islam ini bersifat sistematik, kompleks dan disebabkan oleh
multi faktor. Dalam konteks ini, untuk mengawali proses keluar dari kemelut
kemunduran tersebut yaitu melalui penggalian khazanah intelektual tokoh muslim
yang terkait dengan pendidikan. Salah satu tokoh tersebut adalah Muhammad
Abduh, Muhammad Abduh cenderung memandang jalur pendidikan merupakan sarana
yang lebih tepat untuk memajukan umat. Ia melakukan reformasi kurikulum dan
revolusi pembelajaran di Al-Azhar.karena pemikaran-pemikiran pendidikannya yang
cemerlang, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang Muhammad Abduh
sebagai salah satutokoh pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Abduh
Nama
Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh) adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah lahir tahun 1266H/1849 M di Mahallat al-Nasr, kawasan shubrakhit,
provinsi Buhayrah. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 dalam keluarga petani
di dataran rendah mesir. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khair Allah, seorang
petani yang hidupnya sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya
berasal dari kota Mahallat Nashr. Karena situasi politik yang tidak stabil
menyebabkan orang tuanya menyingkir ke
desa kelahirannya dan kembali ke Mahallat Nashr setelah situsi politik
mengizinkan. Di kota itulah Abduh menjadi
remaja dengan kegemaran yang umumnya digemari oleh remaja di masanya.[1]
Pendidikan
pertama yang ditekuni Muhammad Abduh adalah belajar Al Quran. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam
waktu dua tahun ia telah hafal kitab suci itu seluruhnya, padahal ketika itu ia
masih berusia 12 tahun.[2]
Pada tahun 1279 H (1863 M) Muhammad Abduh
dikirim dikirim orang tuanya ke Tanta untuk meluruskan bacaannya di mesjid Al Ahmadi.
Dua tahun kemudian ia mulai mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan
dimesjid itu, tetapi karena metode pengajaran yang salah, setelah satu setengah
tahun belajar Muhammad Abduh masih belum mengetaui apa-apa. Karena tidak puas
ia meninggalkan Tanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat akan kembali
belajar. Tetapi, ia dipaksa orang uanya kembali ke Tanta. Dalam pelajarannya ke
Tanta ia lari ke desa Kanisah Urin,
ketempat kerabatnya yaitu Syeikh Darwisy
Khadr yang merupakan seorang
berpengetahuan luas tentang agama islam. Syeikh Darwisylah yang mendorong Muhammad
Abduh untuk kembali membaca buku dan jika ada yang tidak dipahaminya ia
tanyakan kepada Syekh Darwisy.
Setelah
mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, pada tahun 1282 H/1866 M ia kembali
ke masjid Ahmadi di Tanta. Beberapa bulan kemudian ia pergi ke kairo untuk
meneruskan pelajaran di Al Azhar dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada
tahun 1877 M.[3]
Pada
tahun 1869 M, Muhammad Abduh bertemu dengan seorang ulama besar bernama Said
Jamaludin Al Afghani dalam sebuah diskusi.
Sejak saat itulah Abduh mulai tertarik kepada Said Jamaludin oleh
ilmunya dan cara berpikirnya yang modern.
Said Jamaludin adalah seorang yang mempunyai semangat tinggi untuk
memutus rantai kekolotan dan cara berpikir yang fanatik dan merombaknya dengan
cara berpikir yang lebih maju.
Udara
baru yang ditiupkan oleh Said Jamaludin, berkembang pesat di mesir, terutama
dikalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.[4]
Puncak
karirnya adalah dikala ia diangkat menjadi mufti besar pada 3 Juni 1899 menggantikan
Syeikh Hasunah Al Nadawi. Akhirnya setelah sakit beberapa lamanya muhammad Abduh
meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 1905.[5]
B.
Setting
Sosial
Masyarakat
mesir tak ubahnya seperti masyarakat muslim lainnya. Ketika Abduh lahir dan di
besarkan di Mahallah Nasr, ternyata kondisi masyarakatnya telah memiliki
sejumlah potensi konflik horizontal. Peta sosial-politik pada saat itu telah
mengundang penderitaan rakyat, seperti kemiskinan sosial, kekayaan yang
bertumpuk-tumpuk di tengah penguasa dan pejabat-pejabat istana. Berkaitan
dengan hal itu, Arbiyah Lubis telah meneragkan tentang ekspedisi tentara Napoleon
tanggal 2 Juni 1798 yang mudah dapat memusnahkan kekuatan militer kerajaan mamluk
dan menundukkan Mesir. Menyusul keberadaan bangsa Perancis di Mesir merupakan
sebuah cambuk dalam membuka peluang dan kesadaran rakyat mesir dan para ulamanya
akan mengalami kemunduran yang mereka alami selama ini.
Kelahiran Abduh bersamaan dengan masa
ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir. Terjadinya kekerasan dan pemerasan
pajak yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Ali
Pasya ternyata dapat melahirkan proses pembaharuan di segala bidang.
Sosok
Abduh ketika melihat kondisi sosio-politik yang berkembang, sebenarnya bukan
termasuk kategori seorang yang radikal dan revolisioner. Meskipun dia selalu
berperan aktif dalam konstelasi politik yang berkembang, lebih-lebih
keterlibatannya dalam pemberontakan pasya yang tidak dapat dihindarkan.
Akhirnya, lawan-lawan politiknya dapat menjadikan Khadefi Taufiq sebagai
kendali pemerintahan saat itu.
Jadi,
peta politik yang berkembang di masyarakat pada era Abduh terkesan tidak
menguntungkan bagi generasi yang ingin mengembangkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan yang lebih kondusif sejalan dengan berbagai agenda reformasi
dalam konteks penataan kembali kehidupan masyarakatnya yang cenderung kurang
perhatian terhadap nasib penderitaan dan kemunduran yang mereka alami selama ini.
Dari
konteks paradigma soaial politik yang berkembang, terutama yang berkaitan
dengan berbagai kebijakan pemerintah pada saat itu ternyata benar-benar tampak
adanya ketidakadilan, kesenjangan yang cukup serius antara pihak penguasa dan
rakyat, bahkan berbagai segi kehidupan yang lain.
Selain
kondisi sosial politik kondisi agama dan pendidikan pada era Abduh juga banyak
mengalamai permasalah. Pada masa Abduh, muncul berbagai penyimpangan pemahaman
agama ditengah masyarakat, seperti statis, bid’ah dan khurafat. Karena itu, Abduh
juga mempunyai solusi dalam penguasaannya terhadap berbagai bahasa,syariat dan
aqidah dan sistem masyarakat.Persoalan lain juga muncul, dimana agama
kehilangan ruhnya dan tinggal simbol-simbol yang tidak bermakna bertebaran.
Di
bidang pendidikan muncul dualisme ilmu pengetahuan. Persoalan lain yang muncul adalah
adanya paradigma metodologi pendidikan yang berkembang tidak sejalan dengan
tuntutan zaman dan pendidikan yang muncul pada saat itu terkesan ortodoks dan
tradisional.[6]
C.
Pendekatan
Sebagai
seorang modernis, Muhammad abduh menghadapi tantangan yang datang dari barat
dan tuntutan dunia modern dengan mengguanakan pendekatan identifikatif, selain
juga menggunakan pendekatan apologetik. Kedua pendekatan inilah yang membuat
Muhammad Abduh senantiasa mengacu kepada barat dalam hal
intelektualitas-modernitas dan berkiblat pada Al-Quran dan Al Sunnah dalam hal
moralitas.
Pendekatan
identifikatif bisa diamati dari esensi pemikirannya pada perumusannya terhadap
pemikiran dan revitalisasi masyarakat muslim melalui identifikasi
gagasan-gagasan dan intuisi modern. Adapun pendekatan apologetiknya terlihat
dari upaya gigihnya untuk mengukuhkan dan mempertahankan eksistensi doktrin
islam sebagai landasan utamanya.[7]
D.
Teori
1.
Kalam
Pemikiran kalam Abduh meliputi beberapa hal, yaitu masalah
perbuatan manusia, qada’ qadar, dan sifat-sifat Allah. Bagi Abduh manusia
adalah makhluk yang bebas dalam memilih perbuatannya, karena didukung iga unsur
yaitu: akal, kemauan dan daya. Masalah qada’ dan qadar, menurut abduh adalah
meyakini bahawa setiap peristiwa dilatarbelakangi oleh sebab.[8]
2.
Syariah
Dalam
bidang syariah abduh menekankan pada persoalan ijtihad, yaitu corak usaha yang
ditempuh dalam memahami syariah untuk mendapatkan kepastian hukum. Menurutnya
syariah ditinjau dari dua sudut yang
bersifat qat’i dan zhanni. Qat’i yaitu yang ditunjukannya oleh al Qur’an dan
oleh rasulullah SAW dan Zhanni yaitu hukum-hukum yang ditunjukkan nash dan
ijma’.[9]
3.
Teori
pendidikan muhammad abduh
a.
Konsep ilmu pengetahuan
Muhammad
abduh memandang perlunya integrasi pendidikan islam dengan pendidikan umum. Hal
ini didasarkan pada pandangannya terhadap ilmu yang tidak dibedakannya antara
ilmu keagamaan dan ilmu kealaman sebagaimana penafsiran surat al Alaq ayat 5.
Penafsiran abduh atas ayat kelima dari surat al alaq mengandung tiga hal yang
terkait dengan modernisasi pendidikannya. Pertama, bahwa ilmu adalah ciptaan
Allah. Kedua, bahwa Allah merupakan pendidik yang sejati. Ketiga, ilmu-ilmu
kealaman mempunyai kedudukan yang sama dengan ilmu keagamaan.
Abduh
memandang akan kesamaan atau kesederajatan antara ilmu agama dan ilmu kealaman.
Keduanya tidak lagi dipisahkan antara agama sebagai produk tuhan dan ilmu
sebagai produk akal. Dalam pandangan modernisasi pendidikan abduh, antara ilmu
dan agama, keduanya mempunyai hubungan yang saling memperkokoh keberadaan
masing-masing. Semakin dalam pengetahuan manusia tentang agama semakin dalam
pula pengetahuannya mengenai ilmu alam. Dengan alur ilmu dan agama yang
demikian maka tidak sulit untuk
menjadikan manusia yang berintelektual sekaligus bermoral.[10]
E.
Ide
Pokok
Sebagai
seorang pembaharu atau modernis ide dan pemikiran Abduh mencakup dalam berbagai
bidang. Meskipun pemikirannya mencakup
berbagai segi, jika diteliti dalam menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh
lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan.
Beberapa
pemikiran Abduh dalam pembaharuan pendidikan adalah:
1. Menenntang
dan menghilangkan dualisme dalam pendidikan
Gagasan
Abduh paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah ia sangat menentang sistem
dualisme.
2. Merumuskan
tujuan lembaga pendidikan sesuai dengan struktur satuan pendidikan
Tujuan
pendidikan menurut Abduh adalah tujuan dalam pengertian luas, mencakup aspek
akal (kognitif), dan aspek spiritual (afektif).
3. Menyusun
kurikulum
Muhammad
abduh merumuskan kurikulum berdasarkan tingkatan pendidikan, yaitu tingkat
dasar, meenengah dan peruguruan tinggi. Pengorganisasian kurikulum didasarkan
pada pembagian manusia sesuai dengan lapangan pekerjaan yang akan mereka geluti.[11]
4. Metode
Muhammad
Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dengan metode hafalan, rasional dan
pemahaman. Disamping menghafal siswa juga memahami materi yang dihafalnya.
Selain itu, Abduh juga mengidupkan kembali metode munazharah dalam memahami pengetahuan.[12]
5. Peserta
didik
Pendididikan
harus diikuti oleh semua orang baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan
Q.S. Al Baqoroh ayat 228.
6. Pendidikan
nonformal
Dalam pendidikan non
formal abduh menyebutkan islah dan
ini diperlu adanya campur tagan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan da’i.[13]
F.
Analisis
Pemikiran
Corak
pemikiran muhammad Abduh yaitu:
a. Modernisme
Abduh
berusaha mengadakan penyesuaian ajaran islam dengan tuntutan zaman, seperti
penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gagasan
penyesuaian inilah yang kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari
gagasan modernisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhdap
taqlid.
Berkaitan
dengan modernisme ini, Fazlur Rahman memberikan pernyataannya bahwa seorang
modernis biasanya memiliki beberapa ciri, di antaranya selalu berusaha
menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan
gerakannya bersifat kerakyatan serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi.
Bagi fazlur rahman, kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak
ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara
“pemikiran-pemikiran Qur’ani” dengan “pemikiran modern”.
Muhammad
Abduh sebagai pelaku modernis telah menyikapi peradaban barat modern dengan selektif
dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk
meretas kebekuan pemikiran kaum muslim. Nilai-nilai gagasan tertentu yang lahir
dari peradaban barat, seperti demokrasi, prinsip kebersamaan, dan kemerdekaan,
serta konsep Negara-bangsa di terima Muhammad Abduh dengan bingkai islam secara
kritis.
Namun
demikian, Abduh tidak pernah berpikir, apalagi berusaha, untuk mengambil alih
secara utuh segala yang datang dari dunia barat. Karena di samping hal ini
hanya akan berarti mengubah taqlid yang lama kepada taqlid yang baru, juga
karena hal tersebut tidak akan berguan, di sebabkan adanya perbedaan-perbedaan
pemikiran dan struktur social masyarakat masing-masing daerah. Islam, menurut Abduh
“harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta
membersihkannya dari segi-segi negative yang menyertainya. Dengan demikian,
peradaban tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat islam, sesaat
setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk islam”
Sedangkan
ekspresi peradaban barat dalam bentuk kolonialisme dan imperialism modern
ditentang Muhammad Abduh dengan berbagai cara dan strategi. Dalam pandangan
Nurcholis Majid, modernisme Muhammad Abduh diantaranya tercermin dalam sikapnya
yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap falsafah, Abduh kirannya
memberikan penekanan serius terhadap falsafah, agar pola pikir kaum muslim
lebih rasional dan terbebas dari kebekuan.
Sementara
itu, John O.Voll menambahkan bahwa kaum modernis-reformis memiliki tiga tema
utama pembaruan, yaitu kembali kepada Al Quran dan hadis, perlunya ijtihad
dalam memecahkan persoalan kaum muslim, dan penguatan kembali autentisitas
serta keunikan dan keistimewaan Al Quran.
b. Rekonstruksionisme
Muhammad
Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali
(rekonstruksi). Agar tradisi suatu masyarakat dapat tetap survive dan terus
diterima, ia harus di bangun kembali, atau dengan istilah lain I’adab al-bunyat min jadid. Pembangunan
kembali ini tentunya dengan kerangka modern yang bersyarat rasional. Hal ini
diakui juga oleh fazlur rahman bahwa pemikiran pembaharuan yang bercorak
reformistik dalam bentuknya yang pertama, secara filosofis telah dikemukakan
Muhammad Abduh dan kemudian diperkuat oleh Muhammad iqbal.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama
Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh) adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah lahir tahun 1266H/1849 M di Mahallat al-Nasr, kawasan shubrakhit,
provinsi Buhayrah.
Kelahiran
Abduh bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir.
Terjadinya kekerasan dan pemerasan pajak yang dilakukan oleh penguasa-penguasa
Ali Pasya ternyata dapat melahirkan
proses pembaharuan di segala bidang.
Pendekatan
yang digunakan Muhammad Abduh adalah pendekatan identifikatif dan apologetik.
Pembuan yang dilakukan Abduh meliputi berbagai bidang yaitu kalam, syariah dan
pendidikan. Corak pemikiran Abduh adalah modernisme dan rekontruksionisme
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd Rahman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers.
Abduh, Syekh Muhammad. 1992. Risalah
Tauhid.diterjemahkan Firdaus FN.Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution, Harun.1987. Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta: UI Press.
Ramayulis.
2011. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta:
Kalam Mulia.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN
Malang.2009. Pendidikan Islam Dari
Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
Sholehuddin, Sugeng.2010. Reinventing Kepemimpinan Dalam Pendidikan
Islam. Pekalongan : STAIN Press.
Shafwan, Muhammad Hambal.2014. Intisari Sejarah Pendidikan Islam. Solo:
Pustaka Arofah
Khodir, Abdul. 2015.Sejarah Pendidikan Islam.Bandung:
Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar