Minggu, 22 Maret 2015

kedudukan hadis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat didalamnya. Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan bagi umat muslim. Karena, untuk beramal dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam hadits Nabi, seorang minimal harus mengetahui hal-hal yang diajarkan didalamnya.
Oleh karena itu, penulis ingin memberikan sedikit wawasan mengenai pengertian hadits dan istilah-istilah yang terkait, kedudukan hadits dengan Al-Qur’an serta perbedaan Al-Qur’an dan hadits.

B.     Perumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari hadits, sunnah, khabar, dan atsar ?
2.      Apakah perbedaan hadits dengan Al-Qur’an ?
3.      Apa sajakah kedudukan serta fungsi antara hadits dengan Al-Qur’an ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui arti dari hadits, sunnah, khabar, dan atsar
2.      Untuk mengetahui apa perbedaan antara hadits dan Al-Qur’an
3.      Untuk mengetahui apa sajakah kedududkan hadits terhadap Al-Qur’an









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar
a.      Pengertian Hadits
Hadist mempunyai beberapa sinonim menurut para pakar ilmu hadits, yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Secara etimologi hadits adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdits yang berarti pembicaraan. Kata hadits mempunuyai beberapa arti, yaitu :
1.      Jadid, lawan qadim : yang baru, jamaknya : hidats, hudasa dan hudus.
2.      Qarib : yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul ahli bil-islam; orang yang baru memeluk agama islam.
3.      Khabar : warta yakni : mayutahaddatsu bihi wayunqalu ; sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya dengan hidditsa.dari sinilah diambil hadits Rasulullah.[1]
Sedangkan secara terminology atau  istilah ada beberapa  pendapat menurut para  ahli  hadit dan ushul hadits. Ulama’ hadits mengunakan kata hadits sebagai istilah bagi segala sesuatu yang datangnya dari Nabi Muhammad SAW. Jumhur Al-muhadditsin menta’rifkan hadits dengan :

مَا اُضِيْفَ اِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًااَوْفِعْلًااَوْتَقْرِيْرًااَوْنَحْوَهَا
Artinya : Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) maupun yang sepadanya.
Sedangkan menurut ahli ushul hadits, hadis adalah segala perkataan, segala perbuatan, dan segala taqrir Nabi, yang bersangkutpaut dengan hukum. [2]
b.      Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. berapa istilah yang merupakan sinonim dari kata sunnah yaitu hadist, khabar, dan atsar. Sunnah menurut istilah syara’ ialah perbuatan-perbuatan Nabi untuk menerangkan maksud dan kehendak Al-Quran, dialah thariqatnya (perjalanannya) yang diikuti para sahabat dalam menerangkan agama, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan meninggalkan, dan tidak mengerjakannya. Adapun berkenaan dengan sunnah menurut terminology para ulama berbeda pendapat. Mereka berbeda-beda dalam memberikan definisi, disebabkan oleh perbedaan tujuan ilmu yang menjadi objek pembahasan.
Ulama hadist mendefinisinikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi SAW. Tetapi, menurut sebagian ahli hadistt, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in baik berupa qauliyah, fi’liyah, taqririyah maupun sifat-sifatnya.
Menurut ulama Ushul fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, selain Al-Quran, baik qauliyah, fi’liyah atau taqririyah yang dapat menjadi dalil-dalil hukum, mereka mendefinisikan demikian karena yang menjadi pokok perhatiannya adalah pembahasan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan menurut ulama fiqh, sunnah adalah apa saja yang benar dari Nabi SAW dalam urusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang didalamnya terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan.[3]
Berdasarkan penjelasan tentang sunnah diatas, dapat diketahui bahwa menurut ahli hadits sunnah itu mempunyai pengertian yang sama dengan hadits. Sedang menurut ulama, hadits itu mencakup segala sifat Nabi SAW, baik jasmaniah maupun perangainya yang meliputi semua perilaku, peristiwa peperangannya, dan kisah pribadinya sebelum diangkat menjadi Rasul.
c.       Pengertian Khabar
Menurut bahasa khabar berarti berita. Dari segi istilah muhadditsin khabar identik dengan hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan,persetujuan, dan sifat.
Mayoritas ulama melihat hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sedang khabar yang datang dari padanya yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi, dan lain-lain. Dengan demikian, khabar lebih umum daripada hadits dan dapat dikatakan bahwa setiap hadits adalah khabar tapi khabar belum tentu hadits.[4]
d.      Pengertian atsar
Atsar dari segi bahasa diartikan yaitu peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadits itu peninggalan beliau.
Menurut istilah ada 2 pendapat mengenai arti atsar yaitu :
1.      Pengartian atsar identik dengan pengertian hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al-Nawawi bahwasannya para ahli hadits marfu’, dan hadits mauquf dengan atsar.
2.      Atsar ialah sesuatu yang datang dari para sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal ini atsar berarti hadits mauquf.[5]
Dengan demikian, jelaslah bahwa kata hadits, sunnah, khabar dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat. Sedangkan yang membedakan antara yang datang dari Rasulullah SAW, atau shahabat atau tabi’in adalah keterangan-keterangan dalam periwatannya.
B.     Perbedaan antara Hadis dan Al - Qur’an
Sebelum membahas tentang perbedaan antara hadits dan Al-Qur’an terlebih dahulu diberikan defenisi Al-Qur’an. Menurut Dr. Subhi Shalih Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi SAW tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir dan yang dinilai ibadah yang dibacanya.
Al-Qur’an dan hadits adalah sumber ajaran islam. Hal yang membedakan  antara Al-Qur’an dan Hadits adalah Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan dan keistimewaan-keistimewaan tersindiri yang tidak terdapat dalam hadits. Dengan demikian, Al-Qur’an dapat dibedakan dengan hadis dengan beberapa perbedaan sebagai berikut:
a.       Al-Qur’an mukjizat rasul sedangkan hadis bukan mukjizat sekalipun hadis qudsi
b.      Al-Qur’an terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorian tangan orang-oarang jahil sedangkan hadis tidak terpelihara seperti Al-Qur’an. Namun, hubungan keduanya tidak dapat dipisahkan maka, terpeliharanya Al-Qur’an bearti pula terpelihaaranya hadis.
c.       Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadis mayoritas diriwayatkan secara ahad  (individu, tidak sebanyak periwayat mitawatir ).
d.      Kebenaran ayat Al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud dan kafir mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadis kebanyakan bersifat zhanni al-wurud kecuali yang mutawatir.
e.       Al-Qur’an redaksi dan maknanya dari Allah sedangkan hadis qudsi maknanya dari Allah redaksinya dari Nabi, sedang hadits nabawi berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu.
f.       Proses penyampaian Al-Qur’an melalui wahyu yang tegas sedang hadis qudsi melalui wahyu atau ilham dan atau mimpi dalam tidur.
g.      Membaca Al-Qur’an dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10 kebaikan.sedangkan membaca hadis, sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru.[6]
C.    Kedudukan dan Fungsi Hadits dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman hidup dan sumber ajaran islam, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber yang memutar ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disinilah hadits menempati posisinya sebagai penjelas A-Qur’an . fungsi Hadits sebagai penjelas Al-Qur’an, dikalangan ulama disebutkan secara beragam. Malik Ibn Anas menyebutkan 5 macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tashil, bayan al-batsh, dan bayan al-tasyri.
Imam Syafi’I menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan al-takhihish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri dan bayan al-nasakh. Dalam kitabnya al-risalah, al-syafi’i menambahkan bayan al-isyarah.[7]
Ahmad Ibn hambal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-taqqyid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri dan bayan al-takhshis. Dari pengertian diatas para ulama memperinci kedudukan hadis terhadap Al-Qur’an menjadi empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadis terhadap Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:
1.      Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga bayan al-taqyid dan bayan al-itsbat, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini adalah memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Arti hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Al-Qur’an misalnya hadis tentang salat, zakat, puasa, dan haji. Contohnya hadits Nabi :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ وَاِقَامُ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَالْحَجُّ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
Artinya:   “Islam ditegakan atas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa bulan ramadhan”

Hadits tersebut mempertegas perintah Allah sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Baqarah : 83.
... (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$#
“Artinya : dan dirikanlah shalat dan serta tunaikanlah zakat.”
2.      Bayan At-Tafsir
Bayan at-tafsir adalah penjelas hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq dan ‘aam. Yang dijelaskan sebagai berikut:
a.      Tafshil al-mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat global (tafshil al-mujmal= meperinci yang global), baik menyangkut ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir. Misalnya perintah salat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an hanya diterangkan secara global dirikanlah salat tanpa disertai petunjuk. Bagaimana pelaksanaanya berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya dan sebagainya. Perincian itu adanya dalam hadis nabi misalnya sabda nabi:
صلوا كما رأيتموني أصلى ...
“ Shalatlah sebagai mana engkau melihat aku shalat.”
Hadis diatas menjelaskan bagaimana salat itu dilaksanakan secara benar sebagaimana firman allah dalam Al-Qur’an Al-Baqarah : 43
وأقيموا الصلاة ةأتوا الزكاة ...
“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat…”
b.      Takhshis al-‘amm
Hadis mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayan takhshis misalnya ayat-ayat tentang waris.    An. Nisa’: 11
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ...
Artinya:    Allah mensyari’atkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan”

Ayat diatas menjelaskan tentang pembagian harta waris dimana anak laki-laki mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhshis) dengan hadis nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para nabi, berlainan agama, dan pembunuh.[8]
Misalnya sabda Nabi :
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ
“Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka).” (HR. At-Tirmidzi)
c.       Taqyid al-muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Al-Qur’an keterangannya secara muthlaq, kemudian di takhshish dengan hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayan taqyid. Penjelasan nabi yang berupa taqyid terhadap ayat Al-Qur’an yang muthlaq antara lain dapat dilihat pada hadis yang berbunyi:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِة اِلاَّ فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعَدَا
“Tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih”
Hadis ini membatasi kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat mutlak, Al-Qur’an Al-Maidah : 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& ...
“Dan laki-laki yang mencuri dan parempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”
3.      Bayan tasyri’
Hadis menciptakan hukum syariah (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh Al-Qur’an. Dalam hal ini rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketetapan rasulullah tersebut adakalanya berdasarkan qiyas adapula yang tidak. Contoh hadis
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَاتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.”

Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Memang, dalam Al-Qur’an dijelaskan beberapa kerabat (keluarga) dilarang dikawini seperti ibu kandung, saudara,anak, dan sebagainya, tetapi tidak ada larangan mempoligami seserang perempuan bersama dengan bibinya. Dalam hal ini, hadis menetapkan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan diatas.
4.      Bayan an-nasakh
Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-Qur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah: 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  

Artinya :         Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu (tanda-tanda) maut, jika ia meninggal harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.

Ayat diatas dinasakh dengan hadis nabi:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya :    Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dn tidak ada wasiat itu wajib bagi waris. (HR. An-Nasa’i)










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kata hadits, sunnah, khabar dan atsar adalah sinonim yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat. Sedangkan yang membedakan antara yang datang dari Rasulullah SAW, atau shahabat atau tabi’in adalah keterangan-keterangan dalam periwatannya.
Hadis juga mempunyai beberapa perbedaan fungsi serta kedudukan dengan Al-Qur’an, seperti yang telah dijelaskan diatas.

B.     Saran 
Penulis dalam menulis makalah ini pastilah belum sempurna, maka dari itu penulis berharap teman-teman dan pembaca sudi memberikan saran dan kritik untuk kebaikan makalah berikutnya.


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet. Ke-4 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 1
[2] Ibid., hlm. 4
[3] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 4.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet. ke-3, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 9.
[5] Muhammad Alawi Al-Maliki. Op.Cit., hlm 47
[6] Abdul Majid Khon, Op. Cit., hlm 15.
[7] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 25.
[8] Abdul Majid Khon, Op. Cit., hlm 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar