Senin, 06 Juni 2016

KONSEP PENDIDIKIAN ISLAM MENURUT SUNAN KALIJAGA DALAM TEMBANG ILIR-ILIR



KONSEP PENDIDIKIAN ISLAM MENURUT SUNAN KALIJAGA
DALAM TEMBANG ILIR-ILIR
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas:
               Mata Kuliah                           : Studi Tokoh Pendidikan Islam



Dosen Pengampu                    : Failasuf Fadli, M.S.I

Oleh:
Naili Nikmah             2021113153

Kelas : F

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan makalah studi tokoh pendidikan islam dengan judul " Konsep Pendidikian Islam Menurut Sunan Kalijaga Dalam Tembang Ilir-Ilir" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin penulis upayakan dan di dukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada penulis membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan penulis dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.


Pekalongan, 24 Mei 2016


Penulis




 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengandung konsep-konsep, wawasan-wawasan, dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhadap pemikiran umat manusia sekaligus sebagai sistem peradaban mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan.
Islam adalah agama yang memberikan dorongan yang begitu besar terhadap pendidikan yang mengajarkan kepada manusia mengenai berbagai kehidupan baik duniawi ataupun ukhrawi. Salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan pendidikan.
Penyebaran Islam di nusantara, khususnya di tanah Jawa tidak terlepas dari Wali Sanga,  karena Wali Sangalah yang mempelopori dakwah Islam di bumi Jawa. Wali Sanga dianggap sebagai tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang membumikan Islam di tanah Jawa yang sebelumnya berkembang bersama tradisi Hindu-Budha.
Salah satu tokoh wali Sanga yang termasyhur adalah Sunan Kalijaga. karena dalam berdakwah beliau amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. beliau berusaha mengawinkan adat istiadat Jawa dengan kebudayan Islam, dan menjadikannya media untuk meluaskan syiar Islam.
Salah satu media yang beliau gunakan dalam menyampaikan dakwahnya adalah melalui tembang (lagu). Lewat lagu dan tembang inilah Sunan Kalijaga mentransfer nilai-nilai pendidikan Islam kepada masyarakat dan menyebarkan agama Islam. Salah satu tembang yang dipakai Sunan Kalijaga yang mengandung nilai pendidikan Islam sekaligus sebagai media dakwah adalah tembang ilir-ilir. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang konsep pendidikan Islam menurut Sunan Kalijaga dalam tembang ilir-ilir.


                                    
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukaakan di atas, maka dapat di susun rumusan masalah sebagai berikut?
1.    Bagaimana biografi dan gelora dakwah Sunan Kalijaga?
2.    Bagaimana konsep pendidikan islam menurut Sunan Kalijaga dalam tembang ilir-ilir?
C.      Tujuan
1.    Untuk mengetahui biografi dan gelora dakwah Sunan Kalijaga.
2.    Untuk mendeskripsikan konsep pendidikan islam menurut Sunan Kalijaga dalam tembang ilir-ilir.
D.      Penegasan Istilah
1.      Konsep Pendidikan Islam
Konsep dalam kamus bahasa Indonesia diartikan 1) rancangan atau buram surat dan sebagainya; 2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; 3) gambaran mental dari objek, proses ataupun yang di luar bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal lain.
Pendidikan islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad saw.
2.      Tembang
Kata tembang merupakan sinonim dari lagu. Lagu adalah syair yang dinyanyikan secara berirama.[1]
3.      Ilir-ilir
Ilir-ilir merupakan judul lagu klasik pada masa penyebaran Islam pertama kali oleh Wali Songo di pulau Jawa (sekitar abad XV).[2]
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul diatas adalah suatu analisis tentang pemikiran konsep pendidikan Islam menurut Sunan  Kalijaga yang terkandung dalam tembang ilir-ilir.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Sunan Kalijaga
Raden Sahid yang kelak dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga adalah putra tumenggung wilatikta bupati tuban. Selain raden Sahid, ada nama lain yaitu Syaikh Malaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti. Nama-nama tersebut memiliki kaitan erat sejarah perjalanan hidup tokoh Wali Songo ini dari sejak bernama Sahid, Lokajaya, hingga Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang mengembangkan dakwah Islam melalui seni dan budaya. Sunan Kalijaga termasyhur sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang melainkan dikenal pula sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang dimasuki ajaran Islam. Melalui pertunjukkan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali pelindung Jawa.[3]
Asal usul nama Sunan Kalijaga masih terdapat perbedaan pendapat. Diantaranya adalah pendapat bahwa Kalijaga berasal dari qodhi zaka yang berarti hakim suci atau penghulu suci. Pendapat lain menyatakan bahwa Kalijaga berasal dari kata kali dan jaga. Arti kata kali adalah sungai yang airnya mengalir, sementara jaga artinya menjaga. Sehingga Sunan Kalijaga berarti Sunan yang pernah menjaga aliran air sungai.[4]
Sunan Kalijaga termasuk salah seorang Sunan yang paling tenar dimasyarakat jawa hingga kini. Sejak muda, Sunan Kalijaga telah menampakkan berbagai kelebihan dengan sifat kecerdasan, terampil, pemberani, berjiwa besar, dan memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi. Ini tampak dalm kisahnya yang pernah menjadi berandal dengan cara mencegat dan merampas harta orang kaya demi membantu kaum pribumi yang tertindas sengsara hidupnya.
 Saat masih berandal Sunan Kalijaga memakai nama lokajaya. Kemudian beliau menjadi seorang terhormat ketika bertemu Sunan Bonang, dan inilah sebagai awal pertobatannya.
Sunan Kalijaga setelah bertaubat dari perbuatannya, pernah berguru pula kepada Sunan Ampel. Pernah juga diperintahkan agar menuju cirebon untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati. Kemudian dia diperintahkan agar berkhalwat ditepi sungai, yaitu di suatu daerah yang bernama Kalijaga. Setelah itu kembali ke Demak, dan oleh dewan Wali Songo diberi sebutan Kalijaga.
Sunan Kalijaga telah tercelup dalam ilmu pengetahuan Islam dari para gurunya, menjadikannya sebagai seorang terhormat dan berwibawa. Setelah belajar dari Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati, beliau menguasai banyak ilmu pengetahuan seperti, tauhid, syariat, ilmu kanugaran, ilmu kesenian, dan lainnya. Bahkan beliau ahli pula dalam bidang sastra sehingga terkenal sebagai pujangga dengan melahirkan syair-syair indah dalam bahasa jawa.
Sunan Kalijaga menjalani hidup dalam masa yang panjang melintasi tiga masa kekuasaan, yaitu sejak kerajaan Mojopahit, kerajaan Islam Demak, hingga kerajaan Panjang. Hampir seluruh hidup Sunan Kalijaga untuk perjuangan dakwah Islam. Banyak jasa beliau yang masih didapati hingga kini. Diantaranya adalah pendirian masjid agung Demak dengan soko totalnya, kesenian wayang kulit beserta gamelannya, serta lagu Ilir-ilir dan Gundul-gundul pacul.[5]
Tidak jelas kapan Sunan Kalijaga wafat, tetapi secara umum masyarakat memaklumi bahwa makam Sunan kallijaga  berada di desa Kadilangu, Demak. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga dimakamkan di Cirebon. Kenyataan adanya dua makam bagi Sunan Kalijaga bukanlah merupakan hal yang mengherankan, karena beberapa tokoh wali yang lain dipercayai oleh masyarakat mempunyai makam di beberapa tempat.[6]

B.       Gelora dakwah Sunan Kalijaga
 Setelah mendapat pelajaran tentang Islam dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga diperintahkan menuju ke Jawa bagian barat untuk belajar Islam kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon.[7]
Babad Demak menuturkan bahwa raden Sahid mengawali dakwah di Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga, untuk mengislamkan penduduk indramayu dan pamanukan.
Setelah lama berdakwah, Raden Sahid kemudian melakukan laku rohani dengan melakukan uzlah di pulau Upih. Setelah melakukan uzlah selama tiga bulan lebih sepuluh hari, laku rohani raden Sahid di terima tuhannya dan ia diangkat menjadi wali dengan gelar Sunan Kalijaga. banyak orang yang menjadi pengikutnya dan mengabdi kepada tuhan.[8]
Selain kearah barat Demak, Sunan Kalijaga juga berdakwah kearah selatan menuju daerah Kartasura, Pajang, dan Klaten melalui Salatiga dan Klaten.
Oleh karena berbagai kelebihannya dalam berdakwah tersebut, tidak mengherankan Sunan Kalijaga termasuk anggota walisongo yang berada dalam kekuasaan sultan Fattah di kerajaan Islam Demak. Sunan Kalijaga ditugaskan untuk menggelorakan dakwah di Jawa bagian tengah. Saat itu, kondisi masyarakatnya masih tenggelam dalam sisa peradaban jahiliah menjelang runtuhnya kerajaan mojopahit.
Pada saat gelora dakwah Islam dilancarkan oleh para wali, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar islam bagi terbentuknya basis masyarakat Islam. Tantangan terbesar saat itu adalah kehidupan masyarakat jawa yang masih kuat dipengaruhi kepercayaan, tradisi, budaya, ritual, dan adat warisan nenek moyang dari agama hindu syiwo dan budho maupun sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
Strategi dakwah yang dilancarkan adalah tidak menentang tradisi dan kebiasaan nenek moyang secara frontal dan kekerasan. Akan tetapi melalui pendekatan yang halus dengan cara memasukkan unsur-unsur ajaran Islam ke alam pikiran kesadaran masyarakat jawa. Setelah itu, secara perlahan menggeser dikit demi sedikit ke arah pemurnian Islam.
Sebagaimana para wali lainnya, Sunan Kalijaga berdakwah menyebarkan ajaran Islam dari satu daerah ke daerah lain. Diantara metodenya adalah melalui pertunjukan wayang kulit dan gamelannya. Pertunjukan wayang dilakukan dengan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan ajaran Islam. Tokoh-tokoh wayang yang masih sarat cerita tentang mahabarata dan ramayana, diramu sedemkiian rupa agar masyarakat mendapat pengajaran tentang Islam. Perlahan tapi pasti, tidak sedikit masyarakat Jawa yang kemudian masuk Islam tanpa paksaan.[9]

C.      Makna Tembang Ilir-Ilir
“Lir-ilir, lir ilir, tandure wes sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar”
Makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disebarkan oleh para wali, hijau adalah warna lambang agama Islam yang dianggap bagaikan pengantin baru, karena agama Islam, ketika itu masih baru dikenal masyarakat jawa.
“Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi”
Istilah bocah angon atau pengembala, pada waktu itu dilambangkan  sebagai penguasa yang menggembalakan rakyat. Para penguasa tanah jawa diajak oleh para wali untuk memperbaiki perilaku mereka. Bukan hanya formalitas, tetapi juga menekankan pada aktivitas menjalankan kehidupan asketik, yaitu dilambangkan dengan memanjat pohon belimbing. Pada umumnya, buah belimbing mempunyai kulit yang mencuat berjumlah lima, maka dianalogikan dengan rukun Islam yang berjumlah lima.
Achmad Chodjim mengemukakan, kata belimbing dalam tembang lir-ilir selain diartikan sebagai lambang rukun Islam oleh Sunan Kalijaga, juga diartikan sebagai pancasila buddhis, yaitu lima sila kemoralan yang diajarkan dalam agama budha. Kelima sil itu adalah menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, kebohongan dan mabuk-mabukan. Lebih lanjut dia mengungkapkan, pancasila buddhis merupakan ajaran moral yang sudah dikenal jawa pada waktu itu, serta sebagai dasar kehidupan bagi manusia, terlebih lagi sebagai muslim. Akan tetapi, ajaran moral itu akan lebih berbobot apabila yang menjalankannya adalah para penyelenggara negara, karena mereka adalah panutan bagi semua rakyat.
“Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro, dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono, kanggo sebo mengko sore”
Walaupun licin (sukar) tapi usahalah untuk menyucikan dodot. Dodot adalah sejenis pakaian orang-orang terpandang (kaum bangsawan) di zaman itu. Pakaian menjadi lambang agama, karena bagi orang jawa agama itu sebagai agemaning aji atau pakaian.
Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa agama para raja, adipati dan para narapraja sudah robek pingirannya (sudah kehilangan bentuk) serta sudah tidak layak lagi untuk dipegangi, sebagaimana tersirat dalam syair dodot iro kumitir bedah ing pinggir.
Maka dari itu, agama mereka harus diperbaiki, dalam hal ini yang diperbaiki adalah akhlak atau budi pekertinya. Agama tanpa perbaikan akhlak, maka tidak ada artinya. Orang yang perilakunya buruk kemudian memimpin masyarakat, kecenderungan akan bertindak otoriter.
Dodot diatas harus dijahit agar tampak utuh kembali. Dalam syair selanjutnya disebutkan “dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore”. Fitrah beragama atau keinginan untuk selalu hidup beragama itu, perbaikilah dengan agama Islam guna mempersiapkan diri untuk seba (menghadap) tuhan nanti sore atau kalau sudah meninggal.
“Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalanane”
Mumpung masih hidup, mumpung masih ada kesempatan utuk bertobat kepada Allah. Himbauan ini menurut Achmad Chadjim ditujukan kepada para pejabat pemerintah majapahit, karena kerajaan majapahit saat itu sedang mengalami krisis, baik krisis ekonomi, maupun krisis moral. Kerusuhan terjadi dimana-mana, korupsi dikalangan pejabat merajalela, sehingga agama yang tumbuh di masa majapahit kehilangan pamornya, pudar cahayanya, dan semaraknya juga runtuh.
Ungkapan “mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” jika benar-benar dicermati, bukan hanya ditujukan kepada para pejabat saja, akan tetapi jug aditujukan kepada setiap manusia unuk senantiasa memanfaatkan waktu dan kesempatan di dunia untuk digunakan sebaik-baiknya, dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah untuk mencari kebahagiaan dunia akhirat.
“Yuk surak’o surak iro”
Bergembiralah, semoga mendapat anugrah dari tuhan. Menurut Suwardi Edraswara, ungkapan terakhir ini merupakan kebahagiaan yang ditujukan seseorang yang senantiasa berbuat baik  (beramal soleh) di dunia, karena pada dasarnya, di akhirat akan mendapat balasan amal yang setimpal.
Dari berbagai uraian tentang makna tembang Ilir-Ilir diatas sangatlah jelas dan lugas, pada dasarnya tembang Ilir-Ilir merupakan tembang yang memberikan inspirasi bagi umat manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, orang lan dan lingkungan sekitar.
Disamping itu, tembang ini juga memberikan motivasi kepada umat manusia untuk senantiasa berbuat baik, karena pada dasarnya amal perbuatan manusia di dunia akan dimintai pertanggung jawaban di akirat dan mendapatkan balasan yang setimpal.[10]

D.      Konsep Pendidikan Islam dalam Tembang Ilir-Ilir
1.      Tujuan Pendidikan Islam
Salah satu tujuan pendidikan Islam ialah menciptakan manusia yang mampu memberikan perimbangan antara khidupan akhirat (dengan beribadah) dan mampu pula menjadi khalifah di muka bumi (dengan memanfaatkan seluas-luasnya karunia Allah untuk kehidupan dunia. Perimbangan antara dunia dan akhirat tersebut, tergambar dalam baris syair lir-ilir lir-ilir tandure wes sumilir.
Tujuan pendidikan Islam yang lain adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Tujuan terbentuknya manusia yang berakhlak mulia tergambar dalam baris syair dodotira dodotira kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
2.      Pendidik dalam Pendidikan Islam.
Konsep pendidik dengan lima kompetensi; kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi kepemimpinan (leadership) tergambar jelas dalam tembang Ilir-ilir.
Baris syair, cah angon-cah angon, penekna blimbing kui, lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot iro. Baris syair Lir-ilir lir-ilir, menggambarkan seorang pendidik yang harus senantia sadar akan kedudukannya sebagai pendidik, dan sebagai tenaga profesional. Baris syair dondomana jlumatana, menggambarkan sosok pendidik yang memilki etos kerja yang tinggi, sabar, dan cermat merupakan pelukisan sosok pendidik yang memiliki kompetensi kepribadian yang baik.
Sosok cah angon, yang gemar introspeksi diri dan peduli terhadap lingkungannya yang senantiasa bersikap inklusif, tidak diskriminatif terhadap jenis kelamin, suku, agama, latar belakang keluarga dan lain sebagainya, merupakan representasi sosok pendidik yang mempunyai komptensi sosial. Sedangkan profesi cah angon (penggembala) merupakan representasi sosok pendidik yang memiliki kompetensi kepemimpinan. Ia sangat paham bagaimana menggembalakan (mengelola dan memimpin) ternaknya, memperhatikan, mengarahkan, serta merencanakan kapan gembala harus masuk dan keluar dari kandangnya.
3.      Materi / Isi Pendidikan Islam.
Materi / isi pendidikan Islam dalam tembang Lir-ilir ada dua; meteri religius dan materi akhlak. Dalam baris syair, Lir-ilir lir-ilir tandure wes sumilir, yang memproyeksikan sisi religiusitas dengan mengajak masyarakat tidak hanya sibuk dengan urusan dunia, tetapi juga memperhatian urusan ibadah dan keakhiratan. Selain itu baris syair dondomono jlumatono, kanggo sebo menggo sore, juga sangat kental mempresentasikan sisi religiusnya. Sementara materi akhlak ditunjukkan pada baris syair lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira.
4.      Metode Pendidikan Islam.
Metode pendidikan Islam dalam tembang Lir-ilir meliputi metode keteladanan, metode perumpamaan dan metode praktik. Metode keteladanan dipresentasikan oleh sosok cah angon. Metode perumpamaan terdapat penggunaan istilah dodot untuk menggambarkan akhlak, belimbing yang bergerigi lima untuk menggambarkan rukun Islam, dan seterusnya. Metode praktik terdapat dalam baris syair, dondomono jlumatono.[11]
5.      Nilai Pendidikan Karakter
Pada lirik-lirik tembang Ilir-Ilir tidak hanya sebatas tembang atau lagu yang hanya dinyanyikan saja melainkan mengandung makna dan nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut terdiri dalam 18 pilar karakter yaitu nilai religius, disiplin, kerja keras, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, menghargai prestasi, cinta damai, peduli sosial, dan tanggung jawab.[12]
BAB III
ANALISIS

Dari pembahasan diatas, dapat di analisis bahwa Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali songo yang berdakwah dan menyebarkan agama islam di tanah Jawa. Ia merupakan salah satu tokoh agama sekaligus seorang pendidik yang mampu menyampaikan agama islam dengan cara memasukkan unsur-unsur ajaran islam ke dalam kebudayaan masyarakat Jawa. Salah satu metode yang ia gunakan untuk menyebarkan agama islam adalah melalui tembang ilir-ilir.
Didalam tembang ilir-ilir ini syarat akan makna konsep pendidikan islam diantaranya adalah tujuan pendidikan agama islam, pendidik dalam pendidikan islam, materi dan metode pendidikan Islam serta pendidikan karakter.
 Konsep pendidikan Islam yang terdapat dalam tembang Ilir-ilir masih relevan dengan dunia pendidikan saat ini, hal ini dapat kita lihat diantaranya:
1.      Pendidikan Islam berorientasi pada proses dan penekanan materi praktek dalam dunia pendidikan yang digambarkan dalam baris syair lir-ilir, cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro, dan baris syair dondomono jlumatono.hal ini juga diterapkan dalam pendidikan sekarang, sebagai contoh adalah adanya kurikulum 2013 yang hanya menilai aspek kognitif tapi juga afektif dan psikomotoriknya.
2.      Pendidikan Islam yang berbasis kearifan lokal, salah satunya adalah mengubah dan membuat lagu-lagu jawa dan memadukannya dengan ajaran Islam. Hal inilah yang seharusnya di contoh pendidikan islam saat ini. pendidikan tidak membuang budaya yang ada, tapi melestarikannya dan memadukannya dengan ajaran Islam.

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas mengenai konsep pendidikan islam menurut sunan kalijaga dalam tembang Ilir-ilir, dapat diambil kesimpulan bahwa tembang Ilir-ilir merupakan sebuah karya sastra yang berisi simbol-simbol verbal, yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang dipakai sebagai media pendidikan sekaligus sebagai media dakwah pada masa itu.
Sunan Kalijaga menciptakan dan menggunakan tembang ilir-ilir, karena hal ini bagian dari cara penyebaran agama islam melalui adat istiadat dan budaya.
Dalam tembang ilir-ilir secara implisit memuat konsep pendidikan Islam yaitu tentang tujuan pendidikan islam, pendidik dalam pendidikan islam, materi pendidikan islam, metode pendidikan islam dan nilai pendidikan karakter.
Dari kemampuan Sunan Kalijaga yang mampu memasukkan konsep pendidikan islam dalam sebuah tembang dan kesenian inilah islam dapat berkembang di tanah Jawa pada khususnya bahkan sampai ke seluruh Nusantara.











DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Rachmad.2015. Wali Songo Gelora Dakwah Dan Jihad Di Tanah Jawa (1404-1482). Solo: Al-Wafi.
Daryanto.1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Apollo.
Minarsih. 2007. Skripsi. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tembang Ilir-Ilir (Telaah Terhadap Pemikiran Sunan Kalijaga). Pekalongan: Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan.
Muhammad Irsad.2015. Skripsi. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Sunan Kalijaga Serta Kontribusinya Terhadap Pengembangan Pendidikan. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.
Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri.2000. Islamisasi di Jawa.Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Siti Nurjannah. Artikel. Pendidikan Karakter Dalam Tembang Dolanan “Lir-Ilir”, Http://Lsp.Fkip.Uns.Ac.Id/Pendidikan-Karakter-Dalam-Tembang-Dolanan-Lir-Ilir/, diakses tanggal 20 April 2016.
Sunyoto, Agus.2012. Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iman.
W.J.S. Poewadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakrta: Balai Pustaka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar