Rabu, 13 September 2017

FENOMENOLOGI dan INTEGRASI_INTERKONEKTIF



MAKALAH
FENOMENOLOGI dan INTEGRASI_INTERKONEKTIF
Di susun untuk memenuhi
Mata kuliah          :     Metodologi Study Islam
Dosen pengampu     : Miftahul Huda






Di Susun oleh:

1.      Fitri Anisah                                               (2021113129)
2.      Rifi Muafifah                                            (2021113132)
3.      Naili Nikmah                                             (2021113153)
4.      Abdul Fai                                                  (2021113284)                               


PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH  TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.
Kemudian, sebuah kenyataan bahwa ada sebagian masyarakat, yang memahami secara kurang tepat hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, di mana dipahami seakan ada jarak di antara keduanya yang tidak bisa di satukan dalam metode tertentu. Selanjutnya dipahami bahwa Agama hanya mengurusi wilayah-wilayah ketuhanan, kenabian, aqidah, fikih, tafsir, hadis dan semisalnya, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain di luar bangunan ilmu-ilmu Agama.
Kemudian dimasukan ke dalamnya misalnya ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran dan sejenisnya. Hal ini pun berlanjut dengan didukung pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik. Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu. Oleh karenanya, penulis akan membahas tentang pendekatan fenomenologi dan integrasi-interkoneksi studi agama islam.





BAB II
PEMBAHASAN

A.                Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani, “phainein” yang berarti “memperlihatkan”. Dari kata itu, muncul kata phainemeon yang berarti “sesuatu yang muncul”. Sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves). Istilah itu diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman, Edmund Husserl. Menurut Kockelmas, istilah fenomenologi digunakan pertama kali pada 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant, namun melalui Hegel, makna tenis yang didefinisikan dengan baik tersebut dibangun.
            Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa, dan diketahui oleh seseorang didalam kesadaran dan pengalaman saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut tentang yang Absolut”. Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi agama nantinya. Dalam bukunya , The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan-perwujudan.
            Maksud Hegel adalah ingin memperlihatkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada suatu fenomena, dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan yang mendasar (Geist atau Spirit).
Menurut formulasi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah study tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek diluar dirinya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologi.” Karena pikirn kita diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan rill. Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan” yaitu mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang rill dari objek yang dipikirkan.[1]
            Karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama adalah sebagai berikut:
1.                  Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman manusia.
2.                  Antireduksionisme. Pembebasan dari  prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan penyediaan diskripsi-diskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman tersebut.
3.                  Intersionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenologi perlu memerhatikan struktur-struktur intensional dari datanya dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.
4.                  Pengurungan (apoche’) yaitu penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan dan penilaian yang didasarkan atas pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.
5.                  Eidetic vision adalam pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-esensi itu mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang menungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.[2]



Fenomenologi Agama
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad-19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disiplin-disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti antropologi, sosiologi, arkeologi dan dalam bidang keilmuan yang dikenal sebagai Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk mendefinisikan “fenomenoligi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas Allen.[3]
Pertama, fenomenologi agama diartikan sebagai “sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati”. Kedua, fenomenologi diartikan sebagai “sebuah study komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.” Ketiga, fenomenologi agama diartikan sebagai “cabang disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama”. Keempat, ada ilmuwan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat. Pengertian fenomenologi diatas masih bersifat umum, berikut pengertian tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama menurut penulis adalah pengertian yang diberikan oleh James L.Cox. dengan menggunakan konsep-konsep Husserl, Cox mendefinisikan fenomenologi agama sebagai berikut: sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur apoche’ (penundaan penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat kedalam makna agama) dengan kajian terhadap beragama ekspresi simbolik yang direspon oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.
Aplikasi pendekatam fenomenologi dalam penelitian Agama
             Beberapa prosedur dalam penelitian fenomenologi yang disusun oleh Cresswell:
1.                  Penelitian perlu memahami perspektif filosofis dibalik pendekatan fenomenologi, khusunya konsep tentang bagaimana orang mengalami fenomena.
2.                  Peneliti menulis pertanyan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu pengalaman individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
3.                  Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang sedang diteliti. Informasi tersebut dikumpulkan melalui wawancara yang panjang dengan informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.
4.                  Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua fenomenolog psikologis yang didiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan prosedur dibagi kedalam pertanyaan-pertanyaan. Unit0unit kemudian ditransformasikan kedalam kumpulan makna yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis. Terakhir transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat diskripsi umum tentang pengalaman.
5.                  Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang labih baik pembaca tentang esensi yang tidak berubah dari pengalaman.[4]

B.                  Integratif-Interkonektif
Maksud pendekatan integratif adalah kajian yang menggunakan cara pandang atau cara analisi yang menyatu dan terpadu. Analisis integratif dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, integratif antar seluruh nash yang terkait dengan masalah yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integratif antara nash dengan ilmu lain yang sedang dibahas.[5]
1.      Latar Belakang Pendekatan Integrasi Interkoneksi
a.        Dikotomi Pendidikan Agama Dan Sains
Sebuah kenyataan bahwa ada sebagian masyarakat, yang memahami secara kurang tepat hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, di mana dipahami seakan ada jarak di antara keduanya yang tidak bisa di satukan dalam metode tertentu. Selanjutnya dipahami bahwa Agama hanya mengurusi wilayah-wilayah ketuhanan, kenabian, aqidah, fikih, tafsir, hadis dan semisalnya, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain di luar bangunan ilmu-ilmu Agama. Kemudian dimasukan ke dalamnya misalnya ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran dan sejenisnya. Hal inipun berlanjut dengan didukung pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik.[6]
Kenyataan di atas mengusik Amin Abdullah, untuk meluruskan, membenahi, mendobrak pemahaman diatas melalui buku Islamic Studies; Pendekatan Integratif-Interkonektif sebagai upaya dekonstruksi atau merombak ulang untuk kemudian ditata kembali frame berpikir masyarakat dalam melihat agama dalam relasinya dengan ilmu pengetahuan.
Ide dasarnya adalah bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik Agama, sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Kerjasama, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Sebab, ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, tidak ada tegur sapa dan komunikasi maka hasilnya adalah kemunduran, akan tercipta misalnya seorang ilmuwan yang tak berakhlak dan merusak atau seorang Kyai yang tidak tahu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya gampang dibodohi.
b.      Perilaku Manusia Tidak Sebagaimana Mestinya
Dunia saat ini sedang mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis energi sampai krisis moral. Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditengarai dikarenakan ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik). Kesalahan perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat.
c.       Krisis Global
Saat ini juga marak dengan krisis global yang berdampak pada lingkungan dan energi dan bahkan moral. hal ini tentu patut di pikirkan bagaimana mengatasi ini semua agar tidak menjadi masalah yang berkepanjangan. dampak dari krisis global ini memang di sinyalir dari Dikotomi (pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum).
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhimi4mqEM8nVEMUaNb3ZTZbRWiMV2YuqfoIqzUyONPBIi_zvCNY1lv1ZjLT-YAjPr3J8ZXoq3NQQRWkorrqlhY-qY94pVR0BF6Ocm6FFecG41du5CgEp6FbwdmllPbvCKSQEBCZWCuihM/s400/1b.png
Solusi terhadap masalah dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah banyak ditawarkan oleh beberapa ahli. Minimal ada tiga solusi terhadap masalah dikotomi tersebut, yaitu islamisasi sains, ilmuisasi islam, dan integrasi-interkoneksi. Diharapkan dengan melakukan integrasi-interkoneksi ini krisis yang ada akan hilang ataupun berkurang.
2.      Implementasi Integrasi Interkoneksi
             Ilmu-ilmu agama (islam) dipertemukan dengan ilmu-ilmu sains-teknologi, atau ilmu-ilmu agama (islam) dipertemukan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora, atau ilmu-ilmu sains-teknologi dipertemukan denagan ilmu-ilmu sosial humaniora. Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.
             Tetapi, yang terbaik adalah mempertemukan ketiga-tiganya (ilmu-ilmu agama (islam), ilmu-ilmu sains-teknologi, dan ilmu-ilmu sosial-humaniora). Interaksi antara ketiga disiplin ilmu tersebut akan memperkuat satu sama lain, sehingga bangunan keilmuan masing-masing akan semakin kokoh.
             Upaya mempertemukan ketiga disiplin ilmu tersebut diperkuat dengan disiplin ilmu filsafat. Filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) digunakan untuk mempertemukan ketiga disiplin ilmu tersebut.
3.      Implementasi Paradigma Integrasi Interkoneksi Dalam Kajian Keislaman Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual Muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang- orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
4.      Tujuan Integrasi-Interkoneksi
Tujuan dari integrasi interkoneksi ini adalah untuk bisa memahami kehidupan manusia yang kompleks secara terpadu dan menyeluruh. (Q.S. Al-Mujadilah: 11) :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِي

Artinya : Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Harapan Integrasi-Interkoneksi adalah menjadikan  manusia yang mulia (berderajat tinggi) sebagaimana di tuangkan dalam surat (Q.S. Al-Mujadilah: 11) diatas. Sehingga bisa terwujudnya manusia yang mulia, manusia yang beriman, berilmu, beramal Sholeh.[7]
Fungsi Ilmu terhadap iman dan amal sholeh
·         Memperkuat iman,
·         Mengoptimalkan amal sholeh,
·         Allah mengangkat derajat ahli ilmu didunia dan akhirat,
·         Ilmu sebagai pustaka para nabi,
·         Ilmu tidak akan berkarat dan tidak akan hancur karena usia
·         Ilmu bisa menerangi hati,
·         Ilmu sebagai pintu kebaikan dunia dan akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah : 
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah inginkan padanya kebaikan maka Allah fahamkan agamanya.”










PENUTUP
Kesimpulan
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani, “phainein” yang berarti “memperlihatkan”. Dari kata itu, muncul kata phainemeon yang berarti “sesuatu yang muncul”. Sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri”. Maksud pendekatan integratif adalah kajian yang menggunakan cara pandang atau cara analisi yang menyatu dan terpadu. Tujuan dari integrasi interkoneksi ini adalah untuk bisa memahami kehidupan manusia yang kompleks secara terpadu dan menyeluruh.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar