MAKALAH
FENOMENOLOGI dan INTEGRASI_INTERKONEKTIF
Di
susun untuk memenuhi
Mata kuliah :
Metodologi Study Islam
Dosen pengampu
: Miftahul Huda
Di Susun oleh:
1.
Fitri Anisah (2021113129)
2.
Rifi Muafifah (2021113132)
3.
Naili Nikmah (2021113153)
4.
Abdul Fai (2021113284)
PRODI PAI
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penelitian
agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya
menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang.
Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami
kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang
dipahami.
Kemudian, sebuah kenyataan bahwa ada sebagian masyarakat, yang
memahami secara kurang tepat hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan, di mana dipahami seakan ada jarak di antara keduanya yang tidak
bisa di satukan dalam metode tertentu. Selanjutnya dipahami bahwa Agama hanya
mengurusi wilayah-wilayah ketuhanan, kenabian, aqidah, fikih, tafsir, hadis dan
semisalnya, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain
di luar bangunan ilmu-ilmu Agama.
Kemudian dimasukan ke dalamnya misalnya ilmu biologi, fisika,
matematika, kedokteran dan sejenisnya. Hal ini pun berlanjut dengan didukung
pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik. Berangkat dari
permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau
kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari
para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai
pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu.
Oleh karenanya, penulis akan membahas tentang pendekatan fenomenologi dan
integrasi-interkoneksi studi agama islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fenomenologi
Fenomenologi
berasal dari bahasa yunani, “phainein” yang berarti “memperlihatkan”.
Dari kata itu, muncul kata phainemeon yang berarti “sesuatu yang muncul”.
Sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back
to the things themselves). Istilah itu diduga pertama kali diperkenalkan
oleh seorang filsuf Jerman, Edmund Husserl. Menurut Kockelmas, istilah
fenomenologi digunakan pertama kali pada 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang
disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant, namun melalui Hegel, makna tenis yang
didefinisikan dengan baik tersebut dibangun.
Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan
dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang
menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa, dan diketahui oleh seseorang didalam
kesadaran dan pengalaman saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada
perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan
yang absolut tentang yang Absolut”. Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi
agama nantinya. Dalam bukunya , The Phenomenology of Spirit (1806),
Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui
penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan-perwujudan.
Maksud Hegel adalah ingin
memperlihatkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada suatu fenomena, dalam
keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan yang mendasar (Geist atau
Spirit).
Menurut
formulasi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah study tentang struktur
kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek
diluar dirinya. Husserl menyebut tipe refleksi ini “reduksi fenomenologi.”
Karena pikirn kita diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan rill.
Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu
itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan” yaitu
mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang rill dari objek yang
dipikirkan.[1]
Karakteristik fenomenologi filosofis
yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama adalah sebagai berikut:
1.
Watak
deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara
tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar
pengalaman manusia.
2.
Antireduksionisme.
Pembebasan dari prakonsepsi tidak kritis
yang menghalangi mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu
memberikan ruang untuk memperluas dan memperdalam pengalaman dan penyediaan
diskripsi-diskripsi yang lebih akurat tentang pengalaman tersebut.
3.
Intersionalitas.
Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan,
mengidentifikasi dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang fenomenologi
perlu memerhatikan struktur-struktur intensional dari datanya dan
struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang
diinginkan.
4.
Pengurungan
(apoche’) yaitu penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung keyakinan
dan penilaian yang didasarkan atas pandangan alami yang tidak teruji, seorang fenomenolog
dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh wawasan tentang
struktur-struktur dasarnya.
5.
Eidetic
vision adalam pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali
dideskripsikan juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian
“esensi-esensi universal”. Esensi-esensi itu mengekspresikan “esensi” (whatness)
dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari suatu fenomena yang
menungkinkan kita mengenali fenomena sebagai fenomena jenis tertentu.[2]
Fenomenologi Agama
Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada
akhir abad-19 dan awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam
disiplin-disiplin keilmuan yang berbeda seperti linguistik, kajian-kajian
tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti antropologi,
sosiologi, arkeologi dan dalam bidang keilmuan yang dikenal sebagai Religionswissenchaft
(sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk
mendefinisikan “fenomenoligi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas
Allen.[3]
Pertama, fenomenologi
agama diartikan sebagai “sebuah investigasi terhadap fenomena atau objek-objek,
fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati”. Kedua,
fenomenologi diartikan sebagai “sebuah study komparatif dan klasifikasi
tipe-tipe fenomena agama yang berbeda.” Ketiga, fenomenologi agama
diartikan sebagai “cabang disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama”. Keempat, ada ilmuwan yang fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh
fenomenologi filsafat. Pengertian fenomenologi diatas masih bersifat umum,
berikut pengertian tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama menurut penulis
adalah pengertian yang diberikan oleh James L.Cox. dengan menggunakan
konsep-konsep Husserl, Cox mendefinisikan fenomenologi agama sebagai berikut:
sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur apoche’ (penundaan
penilaian-penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat kedalam makna
agama) dengan kajian terhadap beragama ekspresi simbolik yang direspon oleh
orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas buat mereka.
Aplikasi pendekatam fenomenologi dalam penelitian Agama
Beberapa prosedur dalam penelitian
fenomenologi yang disusun oleh Cresswell:
1.
Penelitian
perlu memahami perspektif filosofis dibalik pendekatan fenomenologi, khusunya
konsep tentang bagaimana orang mengalami fenomena.
2.
Peneliti
menulis pertanyan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu
pengalaman individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup
mereka sehari-hari.
3.
Peneliti
kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang sedang
diteliti. Informasi tersebut dikumpulkan melalui wawancara yang panjang dengan
informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.
4.
Langkah-langkah
analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua fenomenolog
psikologis yang didiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis
menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan prosedur dibagi
kedalam pertanyaan-pertanyaan. Unit0unit kemudian ditransformasikan kedalam kumpulan
makna yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis atau fenomenologis.
Terakhir transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat diskripsi umum
tentang pengalaman.
5.
Laporan
fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang labih baik pembaca tentang esensi
yang tidak berubah dari pengalaman.[4]
B.
Integratif-Interkonektif
Maksud
pendekatan integratif adalah kajian yang menggunakan cara pandang atau cara
analisi yang menyatu dan terpadu. Analisis integratif dapat dikelompokan
menjadi dua. Pertama, integratif antar seluruh nash yang terkait dengan masalah
yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integratif antara nash dengan ilmu
lain yang sedang dibahas.[5]
1.
Latar Belakang
Pendekatan Integrasi Interkoneksi
a.
Dikotomi
Pendidikan Agama Dan Sains
Sebuah
kenyataan bahwa ada sebagian masyarakat, yang memahami secara kurang tepat
hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, di mana dipahami
seakan ada jarak di antara keduanya yang tidak bisa di satukan dalam metode
tertentu. Selanjutnya dipahami bahwa Agama hanya mengurusi wilayah-wilayah
ketuhanan, kenabian, aqidah, fikih, tafsir, hadis dan semisalnya, yang pada
gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain di luar bangunan
ilmu-ilmu Agama. Kemudian dimasukan ke dalamnya misalnya ilmu biologi, fisika,
matematika, kedokteran dan sejenisnya. Hal inipun berlanjut dengan didukung
pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik.[6]
Kenyataan di
atas mengusik Amin Abdullah, untuk meluruskan, membenahi, mendobrak pemahaman
diatas melalui buku Islamic Studies; Pendekatan Integratif-Interkonektif
sebagai upaya dekonstruksi atau merombak ulang untuk kemudian ditata kembali
frame berpikir masyarakat dalam melihat agama dalam relasinya dengan ilmu
pengetahuan.
Ide dasarnya
adalah bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik Agama, sosial,
humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity.
Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Kerjasama,
saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin
keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan
memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Sebab, ketika
bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, tidak ada tegur sapa dan
komunikasi maka hasilnya adalah kemunduran, akan tercipta misalnya seorang
ilmuwan yang tak berakhlak dan merusak atau seorang Kyai yang tidak tahu
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya gampang dibodohi.
b.
Perilaku Manusia Tidak Sebagaimana Mestinya
Dunia saat ini
sedang mengalami berbagai krisis, mulai dari krisis energi sampai krisis moral.
Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang melanda dunia ini ditengarai dikarenakan
ummat manusia tidak berperilaku sebagaimana mestinya (benar dan baik).
Kesalahan perilaku ummat manusia tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut
karena pola pendidikan yang dikembangkan saat ini kurang tepat.
c.
Krisis Global
Saat ini juga
marak dengan krisis global yang berdampak pada lingkungan dan energi dan bahkan
moral. hal ini tentu patut di pikirkan bagaimana mengatasi ini semua agar tidak
menjadi masalah yang berkepanjangan. dampak dari krisis global ini memang di
sinyalir dari Dikotomi (pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum).
Solusi terhadap masalah dikotomi antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum telah banyak ditawarkan oleh beberapa ahli.
Minimal ada tiga solusi terhadap masalah dikotomi tersebut, yaitu islamisasi
sains, ilmuisasi islam, dan integrasi-interkoneksi. Diharapkan dengan melakukan
integrasi-interkoneksi ini krisis yang ada akan hilang ataupun berkurang.
2. Implementasi
Integrasi Interkoneksi
Ilmu-ilmu agama (islam) dipertemukan dengan ilmu-ilmu sains-teknologi,
atau ilmu-ilmu agama (islam) dipertemukan dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora,
atau ilmu-ilmu sains-teknologi dipertemukan denagan ilmu-ilmu sosial humaniora.
Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap
bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih
berbudaya.
Tetapi, yang terbaik adalah mempertemukan ketiga-tiganya (ilmu-ilmu
agama (islam), ilmu-ilmu sains-teknologi, dan ilmu-ilmu sosial-humaniora).
Interaksi antara ketiga disiplin ilmu tersebut akan memperkuat satu sama lain,
sehingga bangunan keilmuan masing-masing akan semakin kokoh.
Upaya mempertemukan ketiga disiplin ilmu tersebut diperkuat dengan
disiplin ilmu filsafat. Filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)
digunakan untuk mempertemukan ketiga disiplin ilmu tersebut.
3. Implementasi
Paradigma Integrasi Interkoneksi Dalam Kajian Keislaman Menurut Prof. Dr. M.
Amin Abdullah
Pemikiran
tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan
oleh kalangan intelektual Muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara
totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul menyamai orang- orang barat apabila mampu menstransformasikan
dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami
wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu
terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat
dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus
ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
4.
Tujuan Integrasi-Interkoneksi
Tujuan dari
integrasi interkoneksi ini adalah untuk bisa memahami kehidupan manusia yang
kompleks secara terpadu dan menyeluruh. (Q.S. Al-Mujadilah: 11) :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِي
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Harapan Integrasi-Interkoneksi adalah
menjadikan manusia yang mulia
(berderajat tinggi) sebagaimana di tuangkan dalam surat (Q.S.
Al-Mujadilah: 11) diatas. Sehingga bisa terwujudnya manusia yang mulia, manusia
yang beriman, berilmu, beramal Sholeh.[7]
Fungsi Ilmu terhadap iman dan amal sholeh
·
Memperkuat iman,
·
Mengoptimalkan amal sholeh,
·
Allah mengangkat derajat ahli ilmu didunia dan
akhirat,
·
Ilmu sebagai pustaka para nabi,
·
Ilmu tidak akan berkarat dan tidak akan hancur
karena usia
·
Ilmu bisa menerangi hati,
·
Ilmu sebagai pintu kebaikan dunia dan akhirat,
sebagaimana sabda Rasulullah :
مَنْ يُرِدْ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah inginkan padanya
kebaikan maka Allah fahamkan agamanya.”
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomenologi berasal dari bahasa yunani, “phainein” yang
berarti “memperlihatkan”. Dari kata itu, muncul kata phainemeon yang berarti
“sesuatu yang muncul”. Sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali
kepada benda itu sendiri”. Maksud pendekatan integratif adalah kajian yang
menggunakan cara pandang atau cara analisi yang menyatu dan terpadu. Tujuan dari
integrasi interkoneksi ini adalah untuk bisa memahami kehidupan manusia yang
kompleks secara terpadu dan menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar