LAPORAN PENELITIAN
TRADISI KHITBAH DI DESA DURENOMBO
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqh III
Dosen
Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M.ag.
Oleh:
Naili
Nikmah 2021113153
Kelas : PAI B
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN )
PEKALONGAN
2015
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah tuhan seluruh
alam yang menurunkan al-Quran sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang
yang berakal. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tak ada kata yang lebih mulia
kecuali ungkapan rasa syukur kehadirat Allah swt. Atas segala kekuatan yang
telah di limpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan
penelitian mata kuliah Fiqh III yang berjudul “Tradisi Khitbah di Desa Durenombo”.
Secara garis besar laporan
penelitian ini berisi tentang pelaksanakan khitbah di desa Durenombo dan
khitbah dalam perspektif hukum islam.
Penulis berharap hasil laporan
penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Sebagai manusia mungkin penulisan laporan
penelitian ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
penulis harapkan dari pembaca untuk penyempurnaan dikemudian hari.
Pekalongan, 02 April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila
mendengar istilah tunangan dan dalam bahasa melayu dikenal dengan istilah pinangan.
Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan lingkungan, dari kalangan
orang biasa sampai kalangan orang luar biasa, dari lingkungan kota sampai
lingkungan desa.
Sebenarnya dalam Islam pun tunangan telah dikenal, namun dengan istilah lain yaitu
Khitbah. Hanya saja istilah khitbah yang dijelaskan oleh syari’at dengan tunangan
seakan-akan berbeda. Karena, tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan
untuk saling memakaikan cincin tunangan sebagai tanda ikatan tunangan
yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut syari’at, khitbah
tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin yang
tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan pasangannya
adalah sesuatu yang dilarang syari’at. Karena diantara keduanya belum sah dalam
sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang
perempuan hanya diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang
dikhitbahnya, yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.
Meminang sendiri artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari
seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang
yang dipercayai. Menurut rahmat hakim, meminang atau khitbah mengandung arti
permintaan, yang menurut adat adalah bentuk permintaan dari satu pihak kepada
pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan pernikahan.
Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah
“Tetalen”. Istilah tersebut diambil dari kata “Tali”, karena seseorang yang
telah terlibat dengan istilah tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah
tali yang mengikat mereka. Kedua pasangan Tetalen tidak bisa sesuka hati
memilih atau menerima orang lain ke jenjang pernikahan, kecuali dengan
seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi ikatan tersebut belum
terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.
Sedangkan dikalangan remaja dan orang yang awam tentang agama,
beranggapan bahwa tuangan itu adalah
apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin tunangan, baik secara
resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan kedua keluarga pasangan
atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.
Seperti yang dilakukan oleh salah satu warga di desa Durenombo
dimana adat peminangan masih dipelihara sampai sekarang. Di desa Durenombo
pertunangan disebut dengan istilah “bundelan”. Kebanyakan acara pertunangan ini
jaraknya dengan pernikahan cukup lama. Seperti yang dilakukan oleh salah
seorang warga di desa Durenombo sebut saja “Nuning” yang telah bertunangan
dengan pacarnya. Pertunangannya ini dilakukan dengan cukup meriah, dimana kedua
keluarga bertemu dan sang pria memberikan hadiah calon tunangannya berupa
cincin dan beberapa makanan. Pertunangannya ini dilakukan beberapa bulan yang
lalu. Akan tetapi, waktu pernikahan belum diputuskan karena menunggu sampai
sang wanita lulus SMA. Padahal, sekarang sang wanita masih kelas dua SMA.
Kemudian, setelah pertunangannya itu membuat sang wanita sering
diantar jemput oleh sang tunangan ketika pergi dan pulang sekolah. Bahkan,
mereka sering pergi berdua, terkadang mereka pergi berdua dan pulang sampai
malam hari dan tunangannya ini juga sering kerumahnya sampai malam hari.
Oleh karena hal diatas, penulis ingin menulis mengenai tradisi
pertunangan, hukum peminangan dalam pespektif hukum islam dan akibat hukum
setelah peminangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kronologi Peristiwa
Saya akan
mencoba membahas mengenai hasil penelitian tentang khitbah, serta pandangan
tentang masyarakat. Di desa Durenombo ada seorang warganya yang melakukan
tradisi tunangan atau peminangan(khitbah). Sebut saja namanya Nuning yang masih
kelas 2 SMA. Pertunangan ini, diselenggarakan atas keinginan kedua orang tua
calon tunangan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dan atas persetujuan
kedua calon. Menurut orang tua sang anak, pertunangan berarti menandakan sebuah
ikatan yang jelas mengenai hubungan anak-anak mereka. Tujuan kedua orang tua
menyelenggarakan pertunangan agar perbuatan anak-anak mereka tidak menimbulkan
fitnah dan gunjingan tetangga.
Sebelum acara
pertunangan, ada satu acara yang menjadi pembuka yaitu pihak laki-laki yaitu
laki-laki itu sendiri yang ditemani ayah dan kakaknya, menanyakan terlebih
dahulu kapan tanggal dilakukan pertunangan. Setelah tanggal disepakati oleh
kedua pihak, maka selanjutnya adalah acara pertunangan.
Saat acara
pertunangan, dari pihak laki-laki membawa seluruh keluarganya mulai dari kedua
orang tuanya, saudara-saudaranya sampai keluarga terdekatnya (seluruh keluarga
besar), dan dari pihak perempuanpun sama. Pihak laki-laki datang dengan membawa
beberapa hadiah untuk sang perempuan yaitu cincin dan beberapa makanan.
Kemudian masuk
acara, dibuka dari pihak laki-laki mengenai tujuannya yang diwakili oleh
ayahnya. Selanjutnya dari pihak isteri yang diwakili oleh tokoh agama setempat
(pak lebe) memberikan jawabannya, yang sebelumnya wakil dari pihak perempuan
menanyakan apakah menerima atau tidak. Setelah pihak perempuan menyatakan
menerima pak lebe atau wakil perempuan menyampaikan jawabannya tersebut.
Setelah itu diadakan acara tukar cincin, dimana sang laki-laki memasangkan
cincin ditangan sang perempuan. Meskipun dinamakan tukar cincin namun, yang
memakai cincin hanya perempuannya saja. Dalam pertuangan ini belum dibicarakan
tentang pernikahan karena pertunangan ini sifatnya hanya mengikat saja. Baik dari
pihak laki-laki dan perempuan belum memastikan kapan waktu pernikahannya.
Setelah adanya
pertuangan ini, menurut beberapa tetangga sang perempuan hubungan mereka ini
semakin dekat. Mereka sering jalan berdua dan sang laki-laki sering mengantar
jemput sang perempuan yang notabennya masih sekolah SMA.
Hubungan
pertunangan ini malah membuat mereka merasa bebas, mereka merasa sudah ada
ikatan jadi tidak ada yang dikhawatirkan lagi.
B.
Perspektif Fiqh
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan
Secara etimologi kata Khitbah berasal dari bahasa arab (الخطبة) yang mempunyai arti meminta seorang
perempuan untuk dijadikan istri. Dikatakan pula bahwa kata khitbah yang dalam
bahasa Melayu disebut “peminangan” adalah bahasa Arab standar yang terpakai
dalam pergaulan sehari-hari, terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula
dalam ucapan Nabi serta disyariatkan pula dalam suatu perkawinan yang waktu
pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya
akad nikah.[1]
Lafaz الخطبة merupakan bahasa arab
standar yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari, terdapat dalam alquran
sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 235:
wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$#
Artinya
: “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran....”[2]
Dan terdapat
pula dalam ucapan nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits
dari jabir menurut riwayat ahmad dan abu daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
اِذَ
اخَطَبَ اَحَدُكُم المَرأَةَ فَاِنِ اسْتَطَا عَ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِلَى مَا
يَدْعُو اِلَى نِكَا حِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya
: “bila salah seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu
melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.”
Sedangkan makna Khitbah secara terminologi adalah suatu langkah pendahuluan
menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita.[3]
Pengertian tersebut senada dengan pendapat Sayyid Sabiq yang cenderung memahami
khitbah sebagai permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk
dijadikan istrinya dengan melalui beberapa tahapan yang sudah berlaku di
tengah-tengah masyarakat.[4]
Peminangan itu disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu
pelaksanannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini juga
sudah membudaya dilingkungan masyarakat setempat.[5]
Jumhur ulama mengatakan bahwa khitbah itu tidak wajib, sedangkan daud
azh-zhahiri mengatakan bahwa peminangan itu wajib, sebab meminang adalah salah
suatu tindakan menuju kebaikan.
Dalam hukum islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara pinangan. Hal
itu memberikan peluang bagi kita untuk melaksanakan dengan adat istiadat yang
berlaku dan sesuai dengan ajaran islam.[6]
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat
sebagai berikut
a.
Tidak
dalam pinangan orang lain
b.
Pada
waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya
pernikahan
c.
Perempuan
itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i
d.
Apabila
perempuan pada masa iddah karena talak bain, hendaklah meminang dengan cara
siri.[7]
2.
Hukum Melihat Orang Yang Akan Dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa
melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan pada
hadits rasulullah:
اِذَ
اخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْراَءَفَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَااِذَ ا
كَانَ انَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا (رواه احمد) لَخِطْبَةٍ وَاِنْ كاَ نَتْ لاَ تَعْلَمُ
Artinya : “ apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang
perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja
melihatnya semata-mata mencari perjodohan, baik diketahui oleh permpuan itu
ataupun tidak.(H.R. Ahmad)”
Dengan demikian, sekirannya tidak bisa dilihat, pihak pria boleh
mengirimkan utusan (seorang perempuan yang dipercaya)supaya dia dapat
menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan dipinangnya itu.
Umat islam benar-benar telah diberi kelapangan untuk melihat
seorang perempuan yang dipinangnya. Semua tidak boleh dilihatnya, kecuali muka
dan telapak tangannya.
Banyak hadis nabi berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang,
baik menggunakan kalimat suruhan maupun dengan menggunakan ungkapan tidak
apa-apa. Namun, tidak ditemukan secara langsung ulama mewajibkannya, bahkan
juga tidak dalam literatur ulama zahiri yan biasanya memahami perintah itu
sebagai suatu kewajiban. Ulama jumhur menetapkan hukumnya boleh, tidak sunnah
apalagi menetapkan hukum wajib.
Adapun batasan anggota badan yang boleh dilihat adalah sebagai
berikut:
a.
Jika
yang melihatnya sama-sama perempuan, seluruh anggota badannya boleh dilihat,
dan perempuan yang diutus oleh pihak laki-laki harus mengatakan
sejujur-jujurnya tentang perempuan yang dimaksudkan., sehingga jangan sampai
pihak laki-laki tertipu.
b.
Jika
yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang diperbolehkan hanya muka dan
telapak tangan, karena selain itu merupakan aurat yang haram dilihat. Larangan
melihat anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan kepada dalil
al-quran yang terdapat dalam surat an-nur ayat 31:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
(النور:31)
“Artinya
: dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang
biasa nampak dari padanya.”
Meskipun pria dengan wanita telah bertunangan, pada hakikatnya
mereka belum halal untuk bergaul lebih dekat, bahkan bersalaman saja haram oleh
Allah, apalagi berpelukan dan berdua-duaan tanpa ada yang mengawasinya. Pada
dasarnya, pertunangan hanyalah upaya untuk mengenal lebih dekat antara dua
pihak, sehongga ketika menikah, mereka tidak merasa tertipu, dan rumah
tangganya menjadi tenteram, damai, dan abadi sampai ke liang lahat.
Sebenarnya, pertunangan adalah bagian dari upaya menyeleksi wanita
dan wanita menyeleksi pria. Dengan pertunangan akan terukur kesepadanan antara
kedua belah pihak sehingga pernikahan dilaksanakan lebih hati-hati, dan
keduanya telah memikirkan dengan matang.[8]
3.
Akibat Hukum Peminangan
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului
perkawinan. Namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk
dipatuhi. Laki-laki yang meminang dan pihak perempuan yang dipinang dalam
menjelang perkawinan dapat saja membatalkan pinangan tersebut. Kemudian,
pemberian dalam acara peminangan itu tidak mempunyai arti apa-apa dengan mahar
yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut
dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan perkawinan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang
dipinangnya adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing.[9]Jadi,
menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan dengan muhrimnya. Agama
tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat.
Hal ini karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang
dilarang agama. Akan tetapi, bila detemani dengan mahramnya untuk mencegah
perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, rasulullah saw
bersabda:
لاَيَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ فَاَنَّ ثَا لِتُهُمَا الشَّيْطَا نُ اِلاَ
لمُحْرَمٍ (رواه احمد)
Artinya:
jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak
halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan.”[10]
C.
Pendapat Pemuka Masyarakat
Menurut pak Ridwan (lebe) yang mewakili acara pertunangan “ tradisi
pertunangan atau bundelan ini memang sudah menjadi bagian dari budaya
masyarakat Durenombo yang sulit dihilangkan. Tradisi petunangan boleh dilakukan
asalkan masih sesuai dengan syariat islam dan tidak melanggar norma masyarakat
yang berlaku. Dan untuk acara tukar cincin sendiri yang biasa dilakukan dalam
acara pertunangan sebenarnya tidak apa-apa yang penting yang memasangkan cincin
kepada sang wanita ini adalah dari pihak wanita, baik itu ibunya, buliknya
maupun saudara perempuannya yang lain yang sudah dewasa. Meskipun terkadang ada
beberapa acara tukar cincin yang memasangkan cincinnya adalah sang lelakinya,
padahal dalam islam sebenarnya tidak boleh. Akan tetapi, untuk menasehatinya atau
untuk mencegahnya cukup sulit karena nantinya bisa menyinggung perasaan dan
juga pengetahuan mereka tentang agama masih minim. Jika setelah tunangan ini
mereka berdua sering berduaan atau jalan berdua, yang ditegur adalah kedua
orang tuanya agar menasehati anak-anaknya. Karena biasanya hal-hal seperti itu
menimbulkan gunjingan dari para tetangga. Selain itu, saat acara pertunangan
seharusnya ditentukan juga tanggal pernikahan agar jalan pertunangan ini lebih
terarah dan pasti.”
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa khitbah adalah
permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya
dengan melalui beberapa tahapan yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Dan menurut pendapat jumhur ulama khitbah itu tidak wajib atau dalam arti
hukumnya adalah mubah, sedangkan daud azh-zhahiri mengatakan bahwa peminangan
itu wajib, sebab meminang adalah salah suatu tindakan menuju kebaikan. Kemudian
melihat wanita yang dipinang menurut jumhur ulama adalah boleh, yang penting masih
sesuai dengan batasan-batasan aurat perempuan yang boleh dilihat. Jadi, acara
peminangan ini boleh dilakukan sebelum adanya pernikahan, asalkan masih sesuai
dengan syariat islam. Perbedaan pertunangan dan khitbah sendiri adalah dalam
penentuan waktu pernikahan, dalam khitbah waktu pernikahan sudah ditentukan
sedangkan pertunangan kebanyakan belum ditentukan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang
dipinangnya adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing. Jadi,
menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan dengan muhrimnya.
Setelah kita melihat dari penjelasan diatas dan diakitkan dengan peristiwa
yang terjadi dalam pertunangan salah satu warga desa Durenombo (nuning),
berarti tradisi tukar cincin apabila yang memasangkan cincinnya itu adalah sang
lelaki itu diharamkan. Dan diharamkan pula bagi laki-laki dan perempuan yang
berduaan tanpa mahram meskipun mereka sudah bertunangan.
B.
Saran
Alhamdulilah penulis sampaikan, karena telah menyelesaikan tugas
laporan penelitian ini. Penulis berterima kasih pula pada pihak yang telah
membantu penulis dalam menyusun penelitian ini.
Penulis berharap dengan selesainya penulisan laporan ini dapat dijadikan
bahan bacaan dan sumber pengetahuan lain bagi pembaca. Untuk selanjutnya penulis berharap tulisan
ini dapat dijadikan bahan pembanding untuk penulisan yang lebih baik
selanjutnya.
Mohon maaf jika ada kesalahan pengetikan maupun hal lain yang
menyangkut penulisan ini. Kritik dan saran
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik bagi
penulisan laporan penelitian selanjutnya.
Daftar
Sumber Biodata
Syarifuddin,Amir.2003.Garis-Garis Besar Fiqih.Jakarta:Kencana.
Syarifudin,Syarifuddin.2007.Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.
Jakarta:Kencana.
Rahman Ghazaly,Abd .2006.Fiqh
Munakahat.Jakarta:Kencana.
Sabiq, Sayyid.1980.Fiqh Al-Sunnah, Terjemah Mudzakkir As, Fikih Sunnah, Jilid VI, Bandung
: PT. Al-Ma'arif.
Ahmad Saebani,Beni.2013.Fiqh Munakahat.Bandung: Pustaka
Setia.
Karti ( Ibu sang perempuan yang dipinang)
Lestari (tetangga sang perempuan yang dipinang)
Turiatun (tetangga sang perempuan yang dipinang)
Ridwan (pak lebe desa Durenombo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar