Rabu, 13 September 2017

TRADISI KHITBAH DI DESA DURENOMBO



LAPORAN PENELITIAN
TRADISI KHITBAH DI DESA DURENOMBO
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqh III
                  Dosen Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M.ag.



 






Oleh:
                                    Naili Nikmah               2021113153
                                   
Kelas :  PAI B

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2015


Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah tuhan seluruh alam yang menurunkan al-Quran sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berakal. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Tak ada kata yang lebih mulia kecuali ungkapan rasa syukur kehadirat Allah swt. Atas segala kekuatan yang telah di limpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian mata kuliah Fiqh III yang berjudul “Tradisi Khitbah di Desa Durenombo”.
Secara garis besar laporan penelitian ini berisi tentang pelaksanakan khitbah di desa Durenombo dan khitbah dalam perspektif hukum islam.
Penulis berharap hasil laporan penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Sebagai manusia mungkin penulisan laporan penelitian ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik penulis harapkan dari pembaca untuk penyempurnaan dikemudian hari.

Pekalongan, 02  April 2015


Penulis






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di zaman sekarang  ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah tunangan dan dalam bahasa melayu dikenal dengan istilah pinangan. Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan lingkungan, dari kalangan orang biasa sampai kalangan orang luar biasa, dari lingkungan  kota sampai lingkungan desa.
Sebenarnya dalam Islam pun tunangan  telah dikenal, namun dengan istilah lain yaitu Khitbah. Hanya saja istilah khitbah yang dijelaskan oleh syari’at dengan tunangan seakan-akan berbeda. Karena, tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan untuk saling memakaikan cincin tunangan  sebagai tanda ikatan tunangan yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut syari’at, khitbah tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincin yang tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang  tangan pasangannya adalah sesuatu yang dilarang syari’at. Karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang  perempuan hanya diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.
Meminang sendiri artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang dipercayai. Menurut rahmat hakim, meminang atau khitbah mengandung arti permintaan, yang menurut adat adalah bentuk permintaan dari satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan pernikahan.

Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah “Tetalen”. Istilah tersebut diambil dari kata “Tali”, karena seseorang yang telah terlibat dengan istilah tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah tali yang mengikat mereka. Kedua pasangan Tetalen tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang pernikahan, kecuali dengan seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi ikatan tersebut belum terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.
Sedangkan dikalangan remaja dan orang yang awam tentang agama, beranggapan bahwa tuangan  itu adalah apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin tunangan, baik secara resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan kedua keluarga pasangan atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.
Seperti yang dilakukan oleh salah satu warga di desa Durenombo dimana adat peminangan masih dipelihara sampai sekarang. Di desa Durenombo pertunangan disebut dengan istilah “bundelan”. Kebanyakan acara pertunangan ini jaraknya dengan pernikahan cukup lama. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang warga di desa Durenombo sebut saja “Nuning” yang telah bertunangan dengan pacarnya. Pertunangannya ini dilakukan dengan cukup meriah, dimana kedua keluarga bertemu dan sang pria memberikan hadiah calon tunangannya berupa cincin dan beberapa makanan. Pertunangannya ini dilakukan beberapa bulan yang lalu. Akan tetapi, waktu pernikahan belum diputuskan karena menunggu sampai sang wanita lulus SMA. Padahal, sekarang sang wanita masih kelas dua SMA.
Kemudian, setelah pertunangannya itu membuat sang wanita sering diantar jemput oleh sang tunangan ketika pergi dan pulang sekolah. Bahkan, mereka sering pergi berdua, terkadang mereka pergi berdua dan pulang sampai malam hari dan tunangannya ini juga sering kerumahnya sampai malam hari.
Oleh karena hal diatas, penulis ingin menulis mengenai tradisi pertunangan, hukum peminangan dalam pespektif hukum islam dan akibat hukum setelah peminangan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kronologi Peristiwa
Saya akan mencoba membahas mengenai hasil penelitian tentang khitbah, serta pandangan tentang masyarakat. Di desa Durenombo ada seorang warganya yang melakukan tradisi tunangan atau peminangan(khitbah). Sebut saja namanya Nuning yang masih kelas 2 SMA. Pertunangan ini, diselenggarakan atas keinginan kedua orang tua calon tunangan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan dan atas persetujuan kedua calon. Menurut orang tua sang anak, pertunangan berarti menandakan sebuah ikatan yang jelas mengenai hubungan anak-anak mereka. Tujuan kedua orang tua menyelenggarakan pertunangan agar perbuatan anak-anak mereka tidak menimbulkan fitnah dan gunjingan tetangga.
Sebelum acara pertunangan, ada satu acara yang menjadi pembuka yaitu pihak laki-laki yaitu laki-laki itu sendiri yang ditemani ayah dan kakaknya, menanyakan terlebih dahulu kapan tanggal dilakukan pertunangan. Setelah tanggal disepakati oleh kedua pihak, maka selanjutnya adalah acara pertunangan.
Saat acara pertunangan, dari pihak laki-laki membawa seluruh keluarganya mulai dari kedua orang tuanya, saudara-saudaranya sampai keluarga terdekatnya (seluruh keluarga besar), dan dari pihak perempuanpun sama. Pihak laki-laki datang dengan membawa beberapa hadiah untuk sang perempuan yaitu cincin dan beberapa makanan.
Kemudian masuk acara, dibuka dari pihak laki-laki mengenai tujuannya yang diwakili oleh ayahnya. Selanjutnya dari pihak isteri yang diwakili oleh tokoh agama setempat (pak lebe) memberikan jawabannya, yang sebelumnya wakil dari pihak perempuan menanyakan apakah menerima atau tidak. Setelah pihak perempuan menyatakan menerima pak lebe atau wakil perempuan menyampaikan jawabannya tersebut. Setelah itu diadakan acara tukar cincin, dimana sang laki-laki memasangkan cincin ditangan sang perempuan. Meskipun dinamakan tukar cincin namun, yang memakai cincin hanya perempuannya saja. Dalam pertuangan ini belum dibicarakan tentang pernikahan karena pertunangan ini sifatnya hanya mengikat saja. Baik dari pihak laki-laki dan perempuan belum memastikan kapan waktu pernikahannya.
Setelah adanya pertuangan ini, menurut beberapa tetangga sang perempuan hubungan mereka ini semakin dekat. Mereka sering jalan berdua dan sang laki-laki sering mengantar jemput sang perempuan yang notabennya masih sekolah SMA.
Hubungan pertunangan ini malah membuat mereka merasa bebas, mereka merasa sudah ada ikatan jadi tidak ada yang dikhawatirkan lagi.
B.     Perspektif Fiqh
1.      Pengertian dan Dasar Hukum Peminangan
Secara etimologi kata Khitbah berasal dari bahasa arab (الخطبة) yang mempunyai arti meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Dikatakan pula bahwa kata khitbah yang dalam bahasa Melayu disebut “peminangan” adalah bahasa Arab standar yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari, terdapat dalam firman Allah dan terdapat pula dalam ucapan Nabi serta disyariatkan pula dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya  akad nikah.[1]
Lafaz الخطبة merupakan bahasa arab standar yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari, terdapat dalam alquran sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 235:
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$#
Artinya : “dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran....”[2]
Dan terdapat pula dalam ucapan nabi sebagaimana terdapat dalam sabda beliau dalam hadits dari jabir menurut riwayat ahmad dan abu daud dengan sanad yang dipercaya  yang bunyinya:
اِذَ اخَطَبَ اَحَدُكُم المَرأَةَ فَاِنِ اسْتَطَا عَ اَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا اِلَى مَا يَدْعُو اِلَى نِكَا حِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya : “bila salah seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.”
Sedangkan makna Khitbah secara terminologi adalah suatu langkah pendahuluan menuju ke arah perjodohan antara seorang pria dan wanita.[3] Pengertian tersebut senada dengan pendapat Sayyid Sabiq yang cenderung memahami khitbah sebagai permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya dengan melalui beberapa tahapan yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.[4]
Peminangan itu disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan ini juga sudah membudaya dilingkungan masyarakat setempat.[5]
Jumhur ulama mengatakan bahwa khitbah itu tidak wajib, sedangkan daud azh-zhahiri mengatakan bahwa peminangan itu wajib, sebab meminang adalah salah suatu tindakan menuju kebaikan.
Dalam hukum islam, tidak dijelaskan tentang cara-cara pinangan. Hal itu memberikan peluang bagi kita untuk melaksanakan dengan adat istiadat yang berlaku dan sesuai dengan ajaran islam.[6]
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut
a.       Tidak dalam pinangan orang lain
b.      Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan
c.       Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i
d.      Apabila perempuan pada masa iddah karena talak bain, hendaklah meminang dengan cara siri.[7]
2.      Hukum Melihat Orang Yang Akan Dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Mereka beralasan pada hadits rasulullah:

اِذَ اخَطَبَ اَحَدُكُمْ اِمْراَءَفَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَنْظُرَمِنْهَااِذَ ا كَانَ انَّمَا يَنْظُرُ اِلَيْهَا (رواه احمد) لَخِطْبَةٍ وَاِنْ كاَ نَتْ لاَ تَعْلَمُ
Artinya : “ apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata mencari perjodohan, baik diketahui oleh permpuan itu ataupun tidak.(H.R. Ahmad)”
Dengan demikian, sekirannya tidak bisa dilihat, pihak pria boleh mengirimkan utusan (seorang perempuan yang dipercaya)supaya dia dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan dipinangnya itu.
Umat islam benar-benar telah diberi kelapangan untuk melihat seorang perempuan yang dipinangnya. Semua tidak boleh dilihatnya, kecuali muka dan telapak tangannya.
Banyak hadis nabi berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan maupun dengan menggunakan ungkapan tidak apa-apa. Namun, tidak ditemukan secara langsung ulama mewajibkannya, bahkan juga tidak dalam literatur ulama zahiri yan biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama jumhur menetapkan hukumnya boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hukum wajib.
Adapun batasan anggota badan yang boleh dilihat adalah sebagai berikut:
a.       Jika yang melihatnya sama-sama perempuan, seluruh anggota badannya boleh dilihat, dan perempuan yang diutus oleh pihak laki-laki harus mengatakan sejujur-jujurnya tentang perempuan yang dimaksudkan., sehingga jangan sampai pihak laki-laki tertipu.
b.      Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang diperbolehkan hanya muka dan telapak tangan, karena selain itu merupakan aurat yang haram dilihat. Larangan melihat anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan kepada dalil al-quran yang terdapat dalam surat an-nur ayat 31:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (النور:31)

“Artinya : dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya.”
Meskipun pria dengan wanita telah bertunangan, pada hakikatnya mereka belum halal untuk bergaul lebih dekat, bahkan bersalaman saja haram oleh Allah, apalagi berpelukan dan berdua-duaan tanpa ada yang mengawasinya. Pada dasarnya, pertunangan hanyalah upaya untuk mengenal lebih dekat antara dua pihak, sehongga ketika menikah, mereka tidak merasa tertipu, dan rumah tangganya menjadi tenteram, damai, dan abadi sampai ke liang lahat.
Sebenarnya, pertunangan adalah bagian dari upaya menyeleksi wanita dan wanita menyeleksi pria. Dengan pertunangan akan terukur kesepadanan antara kedua belah pihak sehingga pernikahan dilaksanakan lebih hati-hati, dan keduanya telah memikirkan dengan matang.[8]
3.      Akibat Hukum Peminangan
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan. Namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang dan pihak perempuan yang dipinang dalam menjelang perkawinan dapat saja membatalkan pinangan tersebut. Kemudian, pemberian dalam acara peminangan itu tidak mempunyai arti apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan perkawinan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing.[9]Jadi, menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan dengan muhrimnya. Agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila detemani dengan mahramnya untuk mencegah perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, rasulullah saw bersabda:

لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ فَاَنَّ ثَا لِتُهُمَا الشَّيْطَا نُ اِلاَ لمُحْرَمٍ (رواه احمد)

Artinya: jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaitan.”[10]

C.    Pendapat Pemuka Masyarakat
Menurut pak Ridwan (lebe) yang mewakili acara pertunangan “ tradisi pertunangan atau bundelan ini memang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Durenombo yang sulit dihilangkan. Tradisi petunangan boleh dilakukan asalkan masih sesuai dengan syariat islam dan tidak melanggar norma masyarakat yang berlaku. Dan untuk acara tukar cincin sendiri yang biasa dilakukan dalam acara pertunangan sebenarnya tidak apa-apa yang penting yang memasangkan cincin kepada sang wanita ini adalah dari pihak wanita, baik itu ibunya, buliknya maupun saudara perempuannya yang lain yang sudah dewasa. Meskipun terkadang ada beberapa acara tukar cincin yang memasangkan cincinnya adalah sang lelakinya, padahal dalam islam sebenarnya tidak boleh. Akan tetapi, untuk menasehatinya atau untuk mencegahnya cukup sulit karena nantinya bisa menyinggung perasaan dan juga pengetahuan mereka tentang agama masih minim. Jika setelah tunangan ini mereka berdua sering berduaan atau jalan berdua, yang ditegur adalah kedua orang tuanya agar menasehati anak-anaknya. Karena biasanya hal-hal seperti itu menimbulkan gunjingan dari para tetangga. Selain itu, saat acara pertunangan seharusnya ditentukan juga tanggal pernikahan agar jalan pertunangan ini lebih terarah dan pasti.”





BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa khitbah adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istrinya dengan melalui beberapa tahapan yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat. Dan menurut pendapat jumhur ulama khitbah itu tidak wajib atau dalam arti hukumnya adalah mubah, sedangkan daud azh-zhahiri mengatakan bahwa peminangan itu wajib, sebab meminang adalah salah suatu tindakan menuju kebaikan. Kemudian melihat wanita yang dipinang menurut jumhur ulama adalah boleh, yang penting masih sesuai dengan batasan-batasan aurat perempuan yang boleh dilihat. Jadi, acara peminangan ini boleh dilakukan sebelum adanya pernikahan, asalkan masih sesuai dengan syariat islam. Perbedaan pertunangan dan khitbah sendiri adalah dalam penentuan waktu pernikahan, dalam khitbah waktu pernikahan sudah ditentukan sedangkan pertunangan kebanyakan belum ditentukan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing. Jadi, menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan dengan muhrimnya.
Setelah kita melihat dari penjelasan diatas dan diakitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam pertunangan salah satu warga desa Durenombo (nuning), berarti tradisi tukar cincin apabila yang memasangkan cincinnya itu adalah sang lelaki itu diharamkan. Dan diharamkan pula bagi laki-laki dan perempuan yang berduaan tanpa mahram meskipun mereka sudah bertunangan.



B.     Saran
Alhamdulilah penulis sampaikan, karena telah menyelesaikan tugas laporan penelitian ini. Penulis berterima kasih pula pada pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penelitian ini.
Penulis berharap dengan selesainya penulisan laporan ini dapat dijadikan bahan bacaan dan sumber pengetahuan lain bagi pembaca.  Untuk selanjutnya penulis berharap tulisan ini dapat dijadikan bahan pembanding untuk penulisan yang lebih baik selanjutnya.
Mohon maaf jika ada kesalahan pengetikan maupun hal lain yang menyangkut penulisan ini. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik bagi penulisan laporan penelitian selanjutnya.



















Daftar Sumber Biodata

Syarifuddin,Amir.2003.Garis-Garis Besar Fiqih.Jakarta:Kencana.
Syarifudin,Syarifuddin.2007.Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta:Kencana.
 Rahman Ghazaly,Abd .2006.Fiqh Munakahat.Jakarta:Kencana.     
Sabiq, Sayyid.1980.Fiqh Al-Sunnah, Terjemah  Mudzakkir As, Fikih Sunnah, Jilid VI, Bandung : PT. Al-Ma'arif.
Ahmad Saebani,Beni.2013.Fiqh Munakahat.Bandung: Pustaka Setia.
Karti ( Ibu sang perempuan yang dipinang)
Lestari (tetangga sang perempuan yang dipinang)
Turiatun (tetangga sang perempuan yang dipinang)
Ridwan (pak lebe desa Durenombo)
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar