Senin, 23 November 2015

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA MASA DEWASA DAN LANSIA



MAKALAH
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
MASA DEWASA DAN LANSIA
Disusun untuk memenuhi tugas:
Mata kuliah             : Psikologi Agama
                                   Dosen Pengampu     : Ahmad Idhoh Anas
 






Oleh:
                                    Naili Nikmah               2021113153
                                   
Kelas :  C PAI

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.
Selanjutnya manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih dahulu  kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang  antara kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6) masa dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitanyna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
Dalam makalah ini penulis akan membahas perkembangan psikologi agama pada masa dewasa dan masa lansia (usia lanjut).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pembagian perkembangan psikologi agama masa dewasa dan ciri-cirinya?
2.      Bagaimana pembagian perkembangan psikologi agama masa usia lanjut dan ciri-cirinya?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembagian Perkembangan Masa Dewasa
Pembagian perkembangan masa dewasa ada 3, yaitu:
1.      Dewasa Awal
Dewasa Awal merupakan masa dewasa atau satu tahap yang dianggap kritikal selepas alam remaja yang berumur dua puluhan (20-an) sampai tiga puluhan (30 an).[1] Menurut erikson masa dewasa muda merupakan pengalaman menggali keintiman (intimacy), kemampuan untuk membaurkan anda dengan identitas orang lain tanpa takut bahwa anda akan kehilangan sesuatu dari diri anda. Lawan dari identitas adalah isolasi, yaitu mempertahankan jarak antara diri sendiri dan orang lain. Keseimbangan antara keintimitas dengan isolasi adalah belajar melepaskan diri dari hubungan dengan orang lain dan tetap mempertahankan identitas diri.[2]
2.      Dewasa Madya
Masa Dewasa Madya adalah masa peralihan dewasa yang berawal dari masa dewasa muda yang berusia 40- 65 tahun. Pada masa dewasa ini, merupakan masa produktivitas maksimum. Pada masa ini kekuatan watak yang muncul, perhatian dan tanggung jawab yang menghargai siap yang membutuhkan perlindungan dan perhatian. Dalam istilah religius, kesia-siaan dihindari dengan melestarikan fungsinya yang bertanggung jawab dalam mengabdikan hidup dan kebudayaan yang menjadi maksud tuhan.
3.      Dewasa Akhir
Masa dewasa akhir merupakan masa kematangan. Masalah sentral pada masa ini adalah menemukan kepuasan bahwa hidup yang dijalaninya merupakan penemuan dan penyelesaian pada masa tua.
Masa dewasa akhir disebut juga masa usia lanjut. Menurut H. Carl witherington, pemilihan terhadap kehidupan mendapat pehatian yang tegas. Mereka muali berpikir pada tanggung jawab sosial, moral, ekonomi, dan keagamaan, serta telah memiliki kepribadian yang stabil. Pada masa dewasa, seseorang telah memiliki tangggung jawab terhadap sistem yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber pada ajaran-ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Dengan demikian, sikap keagamaan seseorang diusia dewasa sulit dirubah.
Kesadaran agama pada usia dewasa merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang untuk mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar. Sedang motivasi beragama pada orang dewasa didasarkan pada penalaran yang logis, sehingga ia akan mempertimbangkan sepenuhnya menurut logika. Sama dengan motivasi agama, ekspresi beragama pada masa dewasa sudah menjadi hal yang tetap. Sebaliknya bagi mereka yang tidak mempercayai agama, ia akan tetap kukuh pada sikapnya.
B.     Ciri-Ciri Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, sikap keberagaaman pada orang dewasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih bnayak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan mmeperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat keagamaan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[3]
C.    Masa Tua (Lanjut Usia)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :
a.              Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.
b.             Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c.              Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun
Menurut William James, usia keagamaan luar biasa justru tampak pada usia lanjut ketika gejolak kehidupan seksual telah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup akhirat. [4]
D.    Ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut
Sejalan dengan tingkat perkembagan usianya, maka sikap keberagamaan pada masa usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya
6.      Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
E.     Kematangan Beragama
Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Dalam menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragam juga merupakan suatu perkembangan individu, hal ini memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan :
1.      Faktor Diri Sendiri
Faktor diri sendiri terbagi menjadi dua yaitu kapasitas dan pengalaman. Kapasitas ini beruapa pengalaman ilmiah(rasio) dalam menerima ajaranajaran ituterlihat perbedaanya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan senakain mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keagamaan.
2.      Faktor Luar
Yang dimaksud faktor luar adalah beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada.
Berkaitan dengan keagamaan, william starbuck mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi sikap keberagamaan seseorang, yaitu:
1.      Faktor Intern
Faktor intern terdiri dari : tempramen, gangguan jiwa, konflik dan keraguan serta jauh dari tuhan.
2.      Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak adalah: musibah dan kejahatan.











BAB III
PENUTUP

Makhluk hidup mempunyai fase dimana manusia yang paling besar adalah fase manusia dewasa awal merupakan masa dewasa atau satu tahap yang dianggap kritikal selepas alam  remaja yang berumur dua puluhan (20-an) sampai tiga puluhan (30 an). Ia dianggap kritikal karena disebabkan pada masa ini manusia berada pada tahap awal pembentukan karir dan keluarga. Pada peringkat ini, seseorang perlu membuat pilihan yang tepat demi menjamin masa depannya terhadap pekerjaan dan keluarga. Pada masa ini juga seseorang akan menghadapi dilema antara pekerjaan dan keluarga. Berbagai masalah mulai timbul terutama dalam perkembangan karir dan juga hubungan dalam keluarga.
Usia lanjut adalah periode penutup dalam r entang hidup seseorang.  Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Apabila telah sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan kematangan jasmani dan rohani. Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.








DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, Elizabeth B Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. 1980.Jakarta:Gelora Aksara Pratama.
Sururin. Ilmu Jiwa Agama.2004.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Jalaludin.Psikologi Agama.2010.Jakarta:Raja Grafindo Pustaka.
lukemenhakimon@gmail.com/facebook.diakses pada tanggal 20 September 2014.



[1] Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta, Gelora Aksara Pratama : 1980 ) hlm, 277
[2] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004), hlm.84
[3] Jalaludin, Psikologi Agama,(Jakarta:Raja Grafindo Pustaka,2010), hlm. 108-109
[4] Sururin,op.cit.,hlm.89

1 komentar: